Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘Aceh’

 

[tulisan ini pertama diterbitkan di Mongabay Indonesia pada 2 Januari 2016: http://www.mongabay.co.id/2016/01/02/mencermati-kondisi-mangrove-11-tahun-pasca-tsunami-aceh/]

 

Mencermati Kondisi Mangrove 11 Tahun Pasca Tsunami Aceh

Picture1

Kita baru saja memperingati 11 tahun tsunami Aceh. Waktu berjalan terasa begitu cepat. Tak terasa telah 11 tahun sudah bencana alam berupa gempa sangat kuat yang memicu tsunami besar pada 26 Desember 2004 berlalu. Saking dahsyatnya, tsunami itu tidak saja melanda pesisir utara Sumatera, namun juga wilayah pesisir di 13 negara lainnya di Samudera Indonesia/India sampai pantai timur Afrika. Meski demikian, ingatan kita tak akan lupa akan besarnya dampak yang diakibat oleh bencana alam itu. Sejarah mencatat,  sebagaimana dilaporkan oleh Athukorala dan Resosudarmo tahun 2006, bahwa kombinasi gempa dan tsunami di akhir tahun 2004 itu menyebabkan korban manusia dan kerugian terbesar dalam sejarah kehidupan manusia di bumi sampai saat ini. Dan kerusakan terberat dan korban terbanyak terdapat di Aceh.

Selain berita kesedihan, tsunami itu juga memberi pelajaran penting bagi kita. Salah satu pelajaran pentingnya adalah hutan mangrove yang sehat mampu menjadi benteng, peredam tsunami, sehingga mampu mengurangi dampak kerusakan tsunami. Fakta-fakta di lapangan seperti banyak dilaporkan oleh banyak peneliti sesaat setelah tsunami melanda bahwa perkampungan yang berada di belakang hutan mangrove yang lebat selamat dari terjangan tsunami. Sebaliknya, kerusakan berat serta korban nyawa banyak terjadi pada perkampungan yang berhadapan langsung dengan laut atau hutan mangrovenya telah rusak atau hilang sebelum tsunami melanda. Pada kasus hutan mangrove yang rusak malah dapat meningkatkan daya rusak tsunami karena (1) tsunami tersebut membawa pepohonan mangrove yang tumbang karena tegakannya sudah tidak kompak sebelum tsunami tiba dan atau (2) fragmentasi hutan mangrove menyebabkan aliran tsunami teralirkan kepada celah-celah mengikuti fragmentasi hutan sehingga arusnya semakin kuat.

Mangrove Aceh sebelum tsunami dan dampaknya

Sebelum tsunami melanda sebagian besar lahan pasang surut pantai Aceh sudah tak ditumbuhi mangrove. Chen dkk (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2004, mangrove di Aceh Besar dan Banda Aceh hanya sekitar 0,5% saja dari areal pesisir, dan hutan pantai jauh lebih kecil lagi, hanya sekitar 0,2% saja. Sebagian besar hutan mangrove telah dikonversi menjadi tambak. Hutan mangrove dan hutan pantai yang tersisa itupun dalam kondisi terfragmentasi.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh BAPPENAS dan The International Donor Community (2005) untuk seluruh kawasan pesisir Aceh diinformasikan bahwa pada tahun 2000, hutan mangrove yang bagus hanya 30.000 ha (8,8%) yang sebagian besar terdapat di Pulau Simeulue, 286.000 ha (83,9%) ) dalam kondisi rusak sedang dan 25.000 ha (7,3%) rusak berat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Aceh tanpa pelindung alami ketika tsunami di akhir tahun 2004 melanda.

Pulau Simeulue yang terletak paling dekat dengan pusat gempa dan tsunami, namun tingkat kerusakan dan jumlah korban nyawa yang ditimbulkan sangat sedikit dibandingkan daerah pesisir lainnya, seperti Banda Aceh dan Aceh Besar. Selain memiliki hutan mangrove yang masih terjaga baik, warga Simeulue juga memiliki kearifan lokal yang dikenal dengan budaya Smong. Ketika gempa besar terjadi, mereka dengan segera menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Respon cepat tersebut karena mereka tahu bahwa setelah gempa besar, akan diikuti oleh naiknya air laut yang sekarang dikenal dengan tsunami. Ini adalah pengetahuan yang disampaikan secara turun temurun melalui cerita dan lagu oleh penduduk Simeulue sebagai pelajaran dari tsunami tahun 1907 yang melanda kawasan tersebut. Kearifan lokal seperti Smong tersebut, saat tsunami 2004 melanda, belum dimiliki oleh sebagain warga pesisir Aceh di daratan utama Sumatera, ditambah lagi dengan kerusakan dan kehilangan hutan mangrove yang telah terjadi.

Mangrove Aceh kini dan tantangannya

Pasca tsunami, perhatian untuk penyelamatan mangrove yang masih baik dan rehabilitasi mangrove yang rusak meningkat dengan tajam. Sampai akhir tahun 2006 saja sekitar 30 juta bibit mangrove telah ditanam oleh berbagai lembaga baik lokal, nasional dan internasional pada areal terdampak tsunami di Aceh sebagaimana dilaporkan oleh Wibisono dan Suryadiputra. Bila dengan jarak tanam 1 x 1 m, maka 3.000 ha lahan mangrove dapat tertanam. Jumlah bibit mangrove yang ditanam sampai akhir operasional BRR tahun 2009 tentu lebih besar lagi atau 5 tahun pasca tsunami. Apa lagi bila sampai saat ini, dimana rehabilitasi mangrove yang rusak tetap menjadi program prioritas pemerintah dan berbagai lembaga lainnya pasca BRR selesai melaksakan mandatnya.

Hasil analisis spasial yang dilakukan penulis sampai satu dasawarsa pasca tsunami pada daerah terdampak tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar terlihat bahwa tingkat pemulihan mangrovenya baru mencapai 70% dari kondisi tahun 2004 atau sesaat sebelum tsunami. Padahal, sebagian besar kegiatan rehabilitasi mangrove pasca tsunami dilakukan di lokasi tersebut. Apa sebab? Berdasarkan hasil observasi lapang dan laporan dari berbagai lembaga diketahui bahwa pada 2 tahun pertama kegiatan rehabilitasi tingkat keberhasilan rehabilitasi tergolong rendah atau gagal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya kualitas bibit, kesalahan penanganan di persemaian, kesalahan dalam pemilihan lokasi tanam dan persiapan lahan yang kurang, kurangnya pengalaman dalam rehabilitasi mangrove dan atau konflik kepentingan. Kelemahan dan kesalahan serupa masih ditemukan sampai saat ini, meski dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan 2 tahun pertama pasca tsunami.

Picture4

Berdasarkan pengamatan terkini, pada beberapa lokasi, hutan mangrove hasil rehabilitasi tumbuh dengan baik. Berbagai jenis biota air dan burung-burung air kembali hadir. Menunjukan hutan mangrove hasil rehabilitasi kembali pulih fungsinya. Namun demikian, ditemukan pula perusakan terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi, padahal sebelumnya mangrove telah tumbuh dengan baik. Kegiatan perusakan tersebut berupa penebangan dan juga pengalihfungsian dari hutan mangrove menjadi penggunaan lain. Hal ini tentu menjadi tantangan ke depan bagaimana menjamin kelestarian hutan mangrove hasil rehabilitasi, apalagi yang berada di kawasan milik, bukan hutan negara.

Picture8

Picture7

Selain perusakan hutan mangrove hasil rehabilitasi, juga dijumpai upaya penjualan hutan mangrove hasil regenerasi alami dengan baik di Gampong Jawa, Banda Aceh. Hal ini karena lahan tersebut berupa lahan milik. Penulis mengusulkan, agar pemerintahan Kota Banda Aceh atau pemerintahan Aceh dengan skema yang memungkinkan untuk memiliki lahan mangrove tersebut dan kemudian dijalakan kawasan lindung atau konservasi. Hutan mangrove tersebut bila dikelola demikian akan menjadi monument bagi generasi yang akan datang, dan sekaligus akan menjadi benteng alami serta juga sebagai tempat hidup biota perairan. Hal ini dalam jangka panjang akan menjamin populasi biota perairan dan pada akhirnya akan menjaga ketahanan ekonomi masyarakat pesisir di wilayah tersebut.

Picture5

Oleh karena itu, masih terdapat banyak pekerjaan rumah untuk memulihkan kondisi mangrove Aceh. Kerjasama yang baik antara pemerintah, warga dan berbagai lembaga terkait menjadi salah satu kunci utama. Kunci berikutnya adalah menghadirkan jembatan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial dan ekonomi dan aktivitas rehabilitasi dan pengelolaan mangrove. Semoga itu mampu kita hadirkan.

Onrizal

Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Email: onrizal@usu.ac.id

Read Full Post »

26 Desember 2015 ini tepat 11 tahun pasca tsunami Aceh. Tsunami besar yang dipicu oleh gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala richter (SR) di pantai barat Meulaboh itu tak hanya menerjang pesisir pantai Aceh dan Sumatera Utara, namun juga di 13 negara lainnya di Asia dan Afrika yang memiliki pantai di Samudra Hindia. Ketinggian gelobang tsunami yang dihasilkan juga dahsyat. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tinggi tsunami di pantai barat Aceh adalah 20 m dan ketinggian tsunami tertinggi tercatat di Leupung antara Bukit Ujung Riteung dan Bukit Labuhan, yakni 51 m di atas permukaan laut (Lavigne dkk., 2009). Halif dan Sabki (2005) melaporkan bahwa energi yang dilepaskan oleh tsunami tersebut setara dengan 80 ribu bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang.

Tercatat hampir 350 ribu nyawa melayang atau hilang di 14 negara yang terkena dampak tsunami 26 Desember 2004. Di Aceh sendiri, tercatat lebih dari 120 ribu nyawa melayang dan lebih dari 116 ribu orang hilang serta sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Berdasarkan publikasi oleh Athukorala dan Resosudarmo (2006) dinyatakan bahwa tsunami di akhir tahun 2004 itu tercatat sebagai bencana alam yang memakan korban terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. BAPPENAS dan Lembaga Donor Internasional (2005) melaporkan bahwa total kerusakan yang diakibatkan oleh kombinasi gempa dan tsunami tersebut mencapai US $ 4,45 milyar atau setara dengan 97% pendapatan domestik bruto Aceh, termasuk didalamnya adalah sebesar US $ 1 milyar kehilangan produktivitas. Kehilangan yang sangat besar.

Berselang 3 bulan kemudian, tepatnya 28 Maret 2005 gempa dengan kekuatan 8,7 SR berpusat di dasar lautan antara Kepulauan Banyak dan Pulau Nias. Gempa tersebut juga memicu tsunami meskipun hanya menerpa pantai barat Sumatera Bagian Utara. Kantor BRR NAD-Nias Perwakilan Nias (2008) melaporkan bahwa di Nias saja gempa dan tsunami pada akhir Maret 2005 tersebut menyebabkan 850 nyawa melayang, 11.579 orang terluka dan sekitar 70.000 kehilangan tempat tinggal.

Hasil penelitian sedimentasi oleh Monecke dan timnya yang dipublikasikan pada tahun 2008 melaporkan bahwa setidaknya telah terjadi 3 tsunami dahsyat yang sebelumnya menerjang pantai Aceh yang diperkirakan terjadi pada tahun 780-990, 1290-1400 dan 1907. Dengan demikian, tsunami besar dimasa mendatang kemungkinan besar akan terjadi kembali.

Tak hanya pantai Aceh dan Sumatera Utara, sejatinya pantai Indonesia rawan diterjang tsunami. Hal ini disebabkan wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng dunia yang selalu bergerak dan pergerakan itu pada suatu masa dapat menyebabkan gempa bumi yang kemudian memicu tsunami. Hamzah dkk. (2000) merangkum bahwa dalam kurun 1600 sd 1999 telah terjadi 105 tsunami yang menerjang pantai Indonesia atau hampir 4 tahun sekali terjadi 1 tsunami. Selanjutnya, Pribadi dan timnya (2013) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1991 sd 2012 sebanyak 27 tsunami yang dipicu oleh gempa bumi juga menerjang pantai Indonesia atau rata-rata setiap tahun terjadi tsunami. Dengan demikian, kejadian tsunami semakin sering menerpa pantai Indonesia pada periode terkini. Oleh karena itu, perlu persiapan dan kesiapan sejak sekarang untuk mengurangi dampak negatif dari tsunami yang akan terjadi dimasa mendatang.

Mangrove, pelindung dari tsunami

Kejadian dan dampak tsunami di penghujung tahun 2004 membuka mata dunia. Tidak saja oleh besarnya korban nyawa manusia, namun juga keajaiban dari hutan mangrove. Danielsen dkk beberapa saat setelah tsunami besar di penghujung tahun 2004 mempublikasi artikelnya pada salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi di dunia, Science, bahwa kerusakan yang disebabkan tsunami sangat kecil atau malah tidak ada pada kawasan pantai yang hutannya masih baik, sedangkan kerusakan berat terjadi pada pantai yang hutannya telah habis atau telah rusak sebelum tsunami tiba di pesisir India. Fakta-fakta serupa juga dilaporkan oleh Dahdouh-Guebas dan tim (2005) untuk pantai Sri Langka, Chang dkk (2006) untuk pantai Thailand dan Onrizal dkk (2009) pada pantai Nias. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2007) untuk kasus tsunami yang menerjang Pangandaran, Jawa Barat pada tahun 2006.

Dahdouh-Guebas pada tahun 2006 mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa 93% dari lebih dari 400 desa di pesisir Kepulauan Andaman yang terletak di sebelah utara Aceh selamat dari terjangan tsunami di akhir tahun 2004 karena terlindung oleh hutan mangrove yang relatif tidak terganggu. Hasil penelitian Kathiresan dan Rejendran (2005) menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara luasan hutan mangrove yang masih baik dengan korban manusia dan kerusakan infrastruktur akibat tsunami. Mereka menemukan bahwa semakin luas hutan mangrove, maka korban nyawa dan kerusakan infrastruktur akibat tsunami semakin kecil.

Namun demikian, hasil penelitian Cochard dkk (2008) melaporkan bahwa hutan mangrove yang rusak yang ditandai dengan tegakan yang tidak kompak dan terfragmentasi dapat memicu kerusakan yang lebih besar. Hal ini dimungkinkan karena tegakan mangrove yang jarang dan terfragmentasi tersebut tidak mampu menahan tsunami dan pohon yang patah atau tumbang kemudian terapung dibawa tsunami sehingga menambah daya rusak tsunami. Fragmentasi hutan juga menyebabkan pengumpulan tsunami pada celah antar tegakan hutan sehingga kekuatan perusak tsunami semakin besar pula. Hal ini terbukti dari penelitian lapang pasca tsunami 2004 di Aceh dan Thailand yang kemudian diikuti dengan permodelan komputer seperti dilaporkan oleh Yanagisawa dan tim.

Berdasarkan hasil penelitian penulis di hampir 3.000 km pantai Aceh dan Sumatera Utara dan berbagai hasil penelitian lainnya pasca tsunami 2004 dapat disimpulkan bahwa efektifitas hutan mangrove sebagai pelindung seperti diringkas berikut ini:

Kesatu, hutan mangrove yang terdiri dari banyak jenis pohon jauh lebih efektif dalam mengurangi dampak tsunami dibandingkan dengan hutan mangrove yang hanya terdiri dari sedikit atau satu jenis pohon saja. Kedua, hutan mangrove yang rapat jauh lebih efektif sebagai pelindung dari tsunami dibandingkan hutan mangrove yang jarang. Ketiga, pohon-pohon mangrove yang memiliki akar di atas tanah yang komplek (seperti akar tunjang pada pohon Rhizophora atau bakau) jauh lebih efektif dalam meredam tsunami daripada pohon mangrove yang tak memiliki akar di atas permukaan tanah (seperti pohon Excoecaria atau buta-buta). Keempat, hutan mangrove dengan struktur campuran baik jenis maupun umurnya jauh lebih efektif dari hutan mangrove yang hanya terdiri dari struktur sederhana. Kelima, hutan mangrove dengan lebar yang tebal jauh lebih efektif dalam meredam tsunami dibandingkan hutan mangrove dengan lebar yang tipis, dan keenam, hutan mangrove dengan tajuk yang berlapis jauh lebih efektif dalam meredam tsunami dibandingkan hutan mangrove dengan tajuk tunggal. Sehingga dalam bahasa sederhananya dapat dinyatakan bahwa hutan mangrove yang sehat dan tidak terganggu mampu meredam atau mengurangi dampak negatif tsunami.

Sayangnya, sebelum tsunami menerjang di penghujung tahun 2004, kerusakan hutan mangrove telah terjadi di berbagai daerah di Asia dan Afrika. Di pesisir Aceh, dalam kurun waktu 5 tahun saja dalam pesiode 1993-1998 kehilangan hutan mangrove mencapai 70,4%, yakni berkurang dari 102.970 ha (Ditjen INTAG, 1993) menjadi hanya 31.504 ha (Departemen Kehutanan, 1998). Dalam kurun waktu tersebut, rata-rata Aceh kehilangan mangrovenya seluas 14.293,2 ha per tahun. Faktor penyebab utamanya adalah konversi hutan mangrove menjadi tambak. Oleh karena itu, ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004, sebagian besar pantai Aceh tanpa sabuk pengaman alami yang bernama hutan mangrove.

Kepedulian Kita

Pasca tsunami 2004, perhatian terhadap hutan mangrove meningkat tajam. Hal ini terbukti dengan meningkatnya aktivitas rehabilitasi hutan mangrove di Aceh dengan dukungan masyarakat internasional dan dana dari APBN. Sampai akhir tahun 2006 saja, tercatat sekitar 30 juta bibit mangrove ditanam, namun sayang sebagian besar mati akibat berbagai faktor, seperti kesalahan jenis pohon yang ditanam, kesalahan penanganan di pembibitan di persemaian, kesalahan lokasi tanam, kurangnya pengetahuan dan pengalaman para pelaksana rehabilitasi, ketiadaan blue print rehabilitasi dan konflik kepentingan (Onrizal, 2006 dan Wibisono dan Suryadiputra, 2006). Setelah itu, berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, sehingga mampu meningkatkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove pada daerah terdampak tsunami di Aceh.

Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, berbagai tekanan terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi juga terjadi. Ancaman dan tekanan tersebut berupa penebangan hutan mangrove hasil rehabilitasi. Selanjutnya berupa reklamasi atau alih fungsi lahan mangrove hasil rehabilitasi menjadi permukiman. Hal ini mungkin terjadi karena (a) tahapan perencanaan rehabilitasi yang kurang matang, (b) tata ruang yang belum dipahami secara bersama dengan baik, (c) status kepemilikan lahan yang belum jelas, (d) kurangnya pemahaman akan pentingnya mangrove dalam melindungi kehidupan penduduk pesisir dari tsunami atau (e) kombinasi dari berbagai faktor tersebut.

Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa sampai satu dasawarsa pasca tsunami, tingkat rehabilitasi mangrove Aceh baru mencapai 70% dari kondisi sebelum tsunami. Tentu masih sangat luas hutan mangrove yang harus direhabilitasi, apalagi misalnya untuk mencapai kondisi pada tahun 1993. Untuk itu tidak saja diperlukan perbaikan dalam perencanaan, namun juga dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove.

Memadukan faktor-faktor ekologi, ekonomi dan sosial menjadi suatu keniscayaan dalam setiap tahapan kegiatan rehabilitasi mangrove, tidak saja di Aceh, namun juga di seluruh wilayah republik ini. Hal ini penting dilakukan, agar berbagai tekanan dan ancaman terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi dapat diminimalisir sejak dini.

Penyadaran publik dan para pengambil kebijakan publik (politisi dan birokrasi) akan pentingnya keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu kunci pelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove terbukti sangat mendukung hasil perikanan pesisir pantai. Semakin baik hutan mangrove, semakin banyak dan beragam hasil tangkap perikanan pesisir pantai. Hamilton dan Snedaker (1984) melaporkan bahwa hampir 100% udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove. Walters dkk. (2008) menginformasikan bahwa 80% species biota laut yang komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove. Sebelumnya, Martosubroto dan Naamim (1977) melaporkan bahwa setiap kehilangan 1.000 ha hutan mangrove, maka hasil tangkap udang komersial akan berkurang sebesar 112,8 ton. Dengan demikian, hutan mangrove tidak saja penting dalam melindungi pesisir pantai dari tsunami, namun juga sangat penting dalam membangun dan menjaga ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, termasuk gizi anak bangsa.

Kepedulian kita dalam melestarikan hutan mangrove yang masih baik dan merehabilitasi yang telah rusak pada akhirnya akan bermanfaat bagi kehidupan kita, ummat manusia. Tidak saja untuk kita saat ini, namun juga untuk generasi yang akan datang. Mari peduli!

Oleh Onrizal

dimuat di Harian Waspada, 25 Desember 2015, hal B5.

Harian Waspada

Read Full Post »

Slide1

Slide2

Slide3

Slide4

Slide5

Slide6

Slide7

Slide8

Slide9

Slide10

Slide11

Slide12

Slide13

Slide14

Slide15#save mangrove, #save our life

Disampaikan pada Rapat Koordinasi Regional Kelompok Kerja Mangrove Daerah se Wilayah Kerja BPHM-II di Hotel Mercure, Batam, 17 – 18 Oktober 2013

Read Full Post »

[Presented at meeting on mangrove rehabilitation. Managed by Hutama Karya, Ssangyong-Korea & USAID, held in Jakarta, 23 Nov 2012]

Picture1

 

 

 

 

 

Picture2

 

 

 

Picture3

 

 

 

Picture4

 

 

 

Picture5

 

 

Read Full Post »

Pelajaran dari rehabilitasi mangrove pasca tsunami 26 Desember 2004 di Aceh

Onrizal

Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. 
Jl Tri Darma Ujung No 1, Kampus USU Medan 20155. Email: onrizal@usu.ac.id, onrizal@gmail.com
 

Rehabilitasi mangrove merupakan salah satu program prioritas dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak gempa dan tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias. Beberapa bulan setelah bencana alam dahsyat tersebut, berbagai program dan aktivitas rehabilitasi mangrove seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, saking banyaknya yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah (NGO), baik dari dalam maupun luar negeri. Kondisi tersebut tergambar dari perhitungan kasar oleh Wibisono & Suryadiputra (2006) dari berbagai sumber mencatat lebih dari 29 juta bibit mangrove telah di tanam dalam kurun waktu 1,5 tahun. Hasil penilaian yang penulis lakukan maupun oleh Wibisono & Suryadiputra (2006) menunjukkan hasil serupa, yakni sebagian kecil program rehabilitasi mangrove tersebut berhasil, namun sebagian besar gagal dalam kurun waktu sampai akhir tahun 2006. Setelahnya berbagai upaya perbaikan dilakukan, agar kegiatan rehabilitasi mangrove dapat berhasil dengan baik.

 

Faktor Penyebab Kegagalan

Persoalan utamanya adalah meskipun aktivitas rehabilitasi mangrove telah dimulai pada bulan April 2005, namun sampai akhir tahun 2006 “blueprint” untuk rehabilitasi mangrove belum tersedia. Akibatnya berbagai aktor program rehabilitasi mangrove dapat melakukan secara bebas dalam memilih lokasi tanam, yang bisa jadi tanpa perencanaan matang, tanpa arahan dan tidak terorganisasi dengan baik. Hal ini bisa terlihat dari penanaman pada lahan yang tidak sesuai, satu lokasi ditanam oleh berbagai pihak atau belum jelas kepemilikan lahan yang bisa memicu konflik di kemudian hari.

Setidaknya terdapat empat bentuk dampak utama gempa dan tsunami bagi areal pantai, yakni a) perubahan bentang alam (landscape) (Gambar 1), b) timbunan lumpur/pasir dari laut (Gambar 2), c) infiltasi air laut ke lapisan tanah, dan d) timbuhan sampah pada permukaan tanah.

 

 

Gambar 1. Perubahan bentang lahan di kawasan pantai bagian utara Banda Aceh (atas) dan kawasan pantai bagian barat Aceh Jaya (bawah) akibat gempa dan tsunami 26 Desember 2004

Selengkapnya di Wanamina 2013 Edisi 1 Halaman 1-9

 

Read Full Post »

under peer reviewing

Read Full Post »

Source: http://www.tropicalbio.org/index.php?option=com_content&view=article&id=195&Itemid=95

Chapter Meetings E-mail

Asia-Pacific Meetings

 

Aceh – March 2013

ATBC – Asia Pacific Chapter Annual Meeting 2013

The 2013 Annual Meeting of the ATBC Asia-Pacific Chapter will be held at Banda Aceh, Sumatra, from 18-22 March. The meeting will be organized by the Government of Aceh, University of Syiah Kuala, Strategic Resources Institute, and Fauna & Flora International (FFI). ATBC has an active Asia Chapter that has met previously in Xishuangbanna, China in 2012, Bangkok, Thailand in 2011, Bali, Indonesia (with the main ATBC meeting), in 2010, Chiang Mai, Thailand, in 2009, Kuching, Malaysia, in 2008 and Mahabalipuram, India, in2007. The 2013 conference will bring together researchers, students, biodiversity specialists, conservation practitioners, policy makers, universities, government agencies and non-government organizations from around the Asia-Pacific region under the overall theme of:

Linking biodiversity science to policy and conservation action‘.

 

Ulu_Masen

Venue

The Annual Meeting of the ATBC Asia Pacific Chapter will be held between 18 to 22 March 2013 Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Sumatra, Indonesia.

NEW: Up load your presentations here. [Meeting registration opening mid-October]

Overview [pdf] –
Program – Print [pdf] – Online [pdf]

Child Care arrangements

An arrangement will be made for daycare for children at the conference facility during the meeting.  Additional cost.  Please contact Matt Linkie for details (matthew.linkie@fauna-flora.org)

NEW : Fellowships

ATBC – Asia Chapter is offering a limited number of fellowships to participants from lower-income countries. The fellowship are ~$US 500 each and will be awarded to participants from lower-income countries presenting high quality papers (poster or oral) at the meeting. Preference will be given to younger scientists, conservationists, officials and policy makers. Applicants should first register for the meeting (registration fee fully refundable) and submit an Abstract. Applications for the fellowships can then be made through the Program for Field Studies in Tropical Asia website (www.pfs-tropasia.org).

Program

General schedule

Keynote Speakers

  • Dr Tony Whitten, Director FFI Asia (Biodiversity conservation in Sumatra)
  • Dr Sonja Luz, Chairman, Wildlife Reserves of Singapore : Role of zoos and captivebreeding for conservation
  • Dr Widodo Ramono (Director, Indonesian Rhino Foundation [YABI]) : Saving the last of a species; Javan rhinos in Ujung Kulon
  • Dr Will Duckworth (IUCN) : Priorities for biodiversity conservation in Lao PDR
  • Mr Sanjay Gubbi (Panthera) : Using media and focused outreach for conservation of tigers
  • Dr Harini Nagendra (ATREE) : Linking social science and with conservation and biodiversitypolicy and planning
  • Mr. Xingli Giam (Princeton University) : Effects of land use change on freshwater systems in Southeast Asia
  • Dr Erik Meijaard (People and Nature Consulting International) : Engaging unlikely partners in conservation
  • Dr Aili Kang (Director, Wildlife Conservation Society, China Program) : Landscape approaches for conserving wildlife in Tibet
  • Dr Lian Pin Koh (ETH Zurich) : Dawn of Drone Ecology
  • Dr Phil McGowan (World Pheasant Association) : Conservation of pheasant diversity in Tropical Asia
  • Dr Chris Shepherd (TRAFFIC Southeast Asia) : Current patterns and trends in wildlife trade in Southeast Asia, and future predictions

Symposia

  • Patterns and trends in wildlife trade in Southeast AsiaCRU-camp_Pidie
  • Climate change adaptation of plants and animals
  • Overview of research and conservation of tropical moist forest galliforms
  • Linking science and security for the recovery of wildlife populations
  • Restoration of tropical humid forests
  • Biogeography and informatics of tropical Asian flora

Contributed sessions 

Special events

  • Paper Writing Workshop (1 day)
  • Experimental Design & Data Analysis (Basic and Advanced, 6 days)
  • Workshop on SMART Conservation Software for law enforcement monitoring at conservation sites (2 days).
  • [Google Campus workshop on monitoring landuse changes (to be confirmed)]
  • [Species distributions and habitat modelling workshop (to be confirmed)]


Field trips

  • Bird watching in the Ulu Masen ecosystem and/or horse trekking through Ulu_Masen_elephant_patrol_Pidiethe forest (duration: 1 day trip)
  • Elephant forest trekking in the Ulu Masen ecosystem – and/or bird watching (duration: 2 day trip)
  • Elephant forest trekking and/or on-foot forest trek in the Ulu Masen ecosystem (duration: 3 day trip)
  • Ulu Masen over flight (duration: 1-2hrs)
  • Pulau Banyak –chance to see dugongs while kayaking over the seagrass bed. Incredible snorkelling, lots of turtles and world class surfing spot – this is a hidden treasure (depart from Medan, 10hrs; duration: 2-4 days)
  • Scuba diving (underwater volcanoes), corel reef snorkelling, fishing, mangrove replanting and relaxing on Pulau Weh (Sabang) – 12 rooms have been reserved at Santai Sumurtiga resort (http://santai-sabang.com/) on a first come, first served basis, please contact the owner Freddy (santaisumurtiga@yahoo.com.au)

Please contact Matthew Linkie (matthew.linkie@fauna-flora.org) to arrange these.

Deadlines

  • Registration open mid-October 2012
  • Symposia submission deadline 31 October2012
  • Early-bird registration deadline 31 December 2012
  • Abstract submission deadline 15 February 2013
  • Late registration deadline 31 January 2013


Fees

Country with Low Income
(student, conservation
worker, researcher, govt official)
Country with High Income
ATBC Member Before 31 Dec 2012 $US 150 $US 250
After 31 Dec 2012 $US 200 $US 300
Non Member Before 31 Dec 2012 $US 175 $US 295
After 31 Dec 2012 $US 225 $US 345
Accompanying Guest $US 120 $US 120

* Fee includes shared accommodation, conference materials; lunch, dinner and coffee breaks; and transport to and from Banda Aceh Airport. Post-conference field trips will be charged separately.

  • Refund policy :
    100% refund up to January 31st 2012;

    80% refund up to Feb 28th 2013 (100% refund for participants who request and are not allocated an Oral presentation);

    0% refund after February 28th 2013.

Students from Country with Low Income, delivering oral presentation, funding for the registration fee and accommodation may apply for fellowships from the meeting organizers. Preference will be give to those attending workshops and for those presenting their thesis research results. If you need further support for your travel costs please contact your country representative for advice (information on the ATBC website AP chapter page)

List of High Income countries according to the World Bank:

Andorra, Antigua and Barbuda, Aruba, Australia, Austria, The Bahamas, Bahrain, Barbados, Belgium, Bermuda, Brunei, Canada, Cayman Islands, Jersey Guernsey Channel Islands, Croatia, Curaçao, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Equatorial Guinea, Estonia, Faroe Islands, Finland, France, French Polynesia, Germany, Greece, Greenland, Guam, Hong Kong SAR, Hungary, Iceland, Ireland, Isle of Man, Israel, Italy, Japan, Rep. Korea, Kuwait, Liechtenstein, Luxembourg, Macao SAR, Malta, Monaco, Netherlands, New Caledonia, New Zealand, Northern Mariana Islands, Norway, Oman, Poland, Portugal, Puerto Rico, Qatar, San Marino, Saudi Arabia, Singapore, Sint Maarten, Slovak Republic, Slovenia, Spain, St. Kitts and Nevis, St. Martin, Sweden, Switzerland, Trinidad and Tobago, Turks and Caicos Islands, United Arab Emirates, United Kingdom, United States, Virgin Islands (U.S.).

Accomodation

Registration fee includes single bed in twin-share accommodation, registrants to indicate preferred roommate. Single room fee $50/night.

Instructions for Presenters

Abstracts (350 words maximum) should include a title, author(s) and affiliations, text (Introduction, goal of the presentation, methods, results and discussion, no references) should be times new roman 12 not formatted

  • Talk will be of 15 min plus 5 min for questions
  • Posters should be of A0 size portrait

Travel details

  • Invitation letters

Invitation letters  will be issued by the Government of Aceh.  Tourist visa on arrival is now available.  Informaton will be provided.

  • 30-day Visa Free Facility

The citizens of countries whose governments offer visa-free facility to Indonesians as well, will continue to enjoy visa-free stays. The 11 countries that are granted the 30-day visa-free facility are: Brunei Darussalam, Chile, Hongkong & Macao Special Administrative Regions, Malaysia, Morocco, Peru, Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam.

  • 30-day Visa-On-Arrival – costs US$25 (need proof of departure from Indonesia within 30 days, and a passport photo).

The nationals of 64 countries will be able to apply for a visa-on-arrival valid for 30 days in Indonesia. The countries are: Algeria, the Arab Emirates, Argentina, Austria, Australia, Bahrain, Belgium, Brazil, Bulgaria, Cambodia, Canada, China, Czech Republic, Cyprus, Denmark, Egypt, Estonia, Fiji, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, India, Iran, Ireland, Italy, Japan, Kuwait, Lao PDR, Latvia, Libya, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Maldives, Malta, Mexico, Monaco, Netherlands, New Zealand, Norway, Panama, Poland, Portugal, Oman, Qatar, Romania, Russia, Saudi Arabia, Slovakia, Slovenia, South Africa, South Korea, Spain, Sweden, Switzerland, Suriname, Taiwan, Timor Leste, Tunesia, United Kingdom and United States.

Flights and hotel bookings

  • Hermes Palace will transfer all hotel guests from airport. “The co-hosts will be waiting to meet you at the airport and will provide extra transportation to Hermes”.

An airport taxi will cost IDR70,000 (approximately USD7.5). You can only pay in Indonesian Rupiah and there is no taxi rank – all cars are private charter. However, an FFI-ATBC volunteer will be waiting at the airport to help with all transfers.

A local travel agent in Banda Aceh will be available for arranging flights, hotel bookings and field trips.  Details to be posted here soon.

Organizing Committee

Scientific Committee

  • Tommaso Savini (Chair), Conservation Ecology Program, King Mongkut’s University of Technology Thonburi, Thailand tommasosavini@gmail.com
  • George A. Gale, Conservation Ecology Program, King Mongkut’s University of Technology Thonburi, Thailand, ggkk1990@gmail.com
  • Timothy Trevor Caughlin, University of Florida, USA, Trevor.caughlin@gmail.com

Read Full Post »

Wetlands International telah merilis  Warta Konservasi Lahan Basah untuk Volume 20, Nomor 3, Juli, 2012. WKLB Vol 20 No 3, Juli, 2012 berisi informasi lahan basah dari Papua sampai Aceh. Berikut pengantar dari Redaksi WKLB untuk edisi teranyar tersebut:

Salam redaksi,

Halo, “apa kabar lahan basahku? baik-baik sajakah engkau?”. Sepenggal pertanyaan yang mengekspresikan betapa sebenarnya kita takut akan kehilangan manfaat dan fungsi lahan basah, dan sejujurnya juga kita semua menyadari bahwa tanpa lahan basah kehidupan menjadi terancam.

Berbagai informasi dan pengalaman dari para penulis tentang kabar lahan basah akan coba kami paparkan kolom demi kolom. Dari belahan timur negara kita tersaji informasi tentang mangrove dan etnis Papua. Sangat menarik untuk disimak tentang bagaimana potensi, pemanfaatan dan konservasi yang sedang dan akan dilakukan disana. Lalu, apa kabar lahan basah di bumi belahan barat negara kita, khususnya di Aceh pasca tsunami 2004 lalu? Simak informasinya pada kolom Konservasi Lahan Basah bertajuk “Tujuh tahun pasca tsunami di Aceh”.

Simak berita-berita menarik lainnya dari berbagai daerah, terutama dari NTT dan Teluk banten yang merupakan informasi rutin yang coba kami terus sajikan.

Selamat membaca.

Untuk membaca lebih lengkap, silahkan kunjungi link berikut ini: WKLB Vol 20 No 3, Juli, 2012

Read Full Post »

Keseimbangan hara merupakan salah satu faktor penting dalam produktivitas tanaman, termasuk tanaman kopi. Hal penting selanjutnya adalah pemeliharaan kesuburan tanah agar dapat berkelanjutan.

Apa dan bagaimana keseimbangan hara dan pengelolaan kesuburan tanah pada kebun kopi. Berikut file presentasi pada  Lokakarya Nasional “Keseimbangan hara dan pengelolaan kesuburan tanah berkelanjutan pada kopi arabika di Sumatera Utara dan Aceh” yang diselenggarakan pada 22 Mei 2012 di Fakultas Pertanian USU Medan

1. Menuju formula pemupukan kopi: pengalaman IFC

2. Pengelolaan kesuburan tanah berkelanjutan pada produksi kopi arabika

3. Pengelolaan lahan kopi arabika Gayo berbasis satuan lahan dan hubungannya dengan indikasi geografis

4. The impact of climate change on population of coffee crop pest and diseases in Northen Sumatera

5. Nutrition of coffee

6. Sekilas tentang Amarta II dan Rencana bagi PROJECT kopi arabika – SUMUT

Semoga bermanfaat

Read Full Post »

Understory vegetation succession following tsunami catastrophe at coastal areas in Aceh, Indonesia

 

1,2Onrizal and 2Mashhor Mansor

1Forestry Sciences Department, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Sumatera Utara

2School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia 11800, Minden, Penang, Malaysia

 

The 2004 Indian Ocean tsunami caused catastrophic destruction to coastal vegetation communities. Based on the ecological view, the natural disturbance is an important factor in structuring ecological communities. In order to observe and record the emergence of several existing plant species as well as new ones that were caused by the tsunami, the survey was carried out on September 2005 and December 2009. Four areas, namely aquaculture ponds, dry lands, mangrove forests, and up-lifting areas were selected. One year after tsunami, mangrove palm Nypa fruticans, mangrove fern Acrostichum aureum and coastal herb Sesuvium portulacastrum are recorded growing well in tidal areas. Five year after tsunami, species of Thypa latifolia and mangrove fern Acrostichum aureum populations colonizing  open areas that were left by mangrove plant communities or unmanaged aquaculture ponds. Most of the disturbed habitats, including drylands and up-lifting areas are occupied with weedy species such as Calotropis gigantea and the noxious weedy species Mimosa pigra. This result indicated that understory species with wind-dispersed seeds played a major role in the succession of coastal vegetation recovery. The different successional patterns along the environmental gradient could result from different strategic approaches in the establishment ability and the growth rate of the dominant plants which are closely depended on the four habitat types.

Keywords: tsunami, understory vegetation, seed dispersal, succession, Aceh

Corresponding author: onrizal@gmail.com

Paper presented at the 1st Joint Symposium of ITB – USM (1JSIU): Science for Sustainable Development and a Better Life. Bandung, Indonesia, 20-21 Dec. 2010

Read Full Post »

Older Posts »