Feeds:
Posts
Comments

Archive for April, 2011

MEDAN DILANDA BANJIR: BENCANA EKOLOGIS DI TAHUN BARU 2011

Onrizal

Staf Pengajar dan Peneliti pada Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara

Belum genap sepekan di tahun baru 2011, masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Deli pada dini hari tanggal 6 Januari 2011 dikejutkan oleh air bah yang memasuki rumah mereka. Hujan yang terjadi pada malamnya, berubah menjadi banjir bandang, mengalir cepat, dan menghantam apa saja yang dilewatinya. Menurut kabar sementara, 10 kecamatan di Kota Medan yang dilalui Sungai Deli terendam banjir antara 1 s.d. 3 meter selain berbagai daerah di Deli Serdang yang terletak lebih ke hulu. Korban nyawapun tak terelakkan. Kampus Universitas Sumatera Utara pun tak luput dari banjir. Ini banjir terbesar setelah bencana serupa tahun 2002.

Banyak pihak berkomentar, hujan lebat yang terjadi malamnya adalah sebagai penyebab banjir itu. Ya, sangat sering kita mendengar hujan menjadi tertuduh sebagai penyebab suatu daerah di landa banjir. Sepintas terlihat benar, namun apakah betul demikian? Benar, hujan merupakan input dalam peristiwa banjit dan itu di luar kuasa manusia. Lalu, salahkah hujan?

Potret DAS Deli

Kota Medan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli. Apa itu DAS? Menurut UU No 7 Tahun 2004, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Selain dialiri Sungai Deli, Kota Medan juga dialiri berbagai anak-anak sungai yang kemudian mengalir ke Sungai Deli.

Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Wampu Ular yang wilayah kerjanya juga meliputi DAS Deli terlihat bahwa kondisi DAS Deli yang makin kritis. UU mensyaratkan suatu DAS minimal 30% berupa hutan. Ingat, 30% adalah batas minimal, bukan batas maksimal. Namun, faktanya kawasan berhutan di DAS Deli pada tahun 2010 hanya tersisa 5,21% saja atau hanya 2.463,69 ha yang berhutan dari luas total DAS Deli sebesar 47.298,01 ha.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu DAS yang baik (dengan hutan yang masih baik dan dengan luasan kawasan berhutan yang cukup) akan mampu penampung dan penyimpan curah hujan menjadi air tanah. Hanya sekitar 0,1 – 10% saja dari curah hujan yang akan mengalir langsung ke sungai atau menjadi aliran permukaan (run off), sedangkan 90 – 99,9% dari curah hujan yang terjadi pada DAS yang baik akan diresapkan ke dalam tanah. Sehingga peluang terjadinya banjir pada DAS yang masih baik akan sangat-sangat kecil kalau tidak boleh dibilang tidak ada.

Demikian pula sebaliknya, bila DAS rusak maka kemampuannya dalam menampung dan menyimpan air hujan turun drastis. Ketika hujan terjadi, hampir seluruh air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan, mengalir ke sungai dalam waktu bersamaan. Meluap, dan jadilah air bah! Ini bukan bencana alam, tapi adalah bencana ekologis!

Lalu bagaimana dengan banjir Kota Medan di awal tahun 2011 ini? Kota Medan yang berada dalam DAS Deli, kondisinya sudah rusak. Kawasan berhutan di DAS Deli sangat jauh dari batas minimalnya, hanya 5% dari batas minimal 30%. Demikian pula sungai-sungai yang melewati Kota Medan juga mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan juga penyempitan akibat reklamasi sungai untuk pembangunan bangunan beton baik permukiman maupun hotel di atas bantaran sungai. Oleh karena itu, kemampuannya dalam menampung dan menyimpan air hujan jauh menurun, sehingga sebagian besar curah hujan akan terus mengalir ke dalam sungai dan jadilah wujudnya berupa air bah.

Nah, masihkah hujan menjadi tertuduh sebagai penyebab banjir Kota Medan (dan daerah disekitarnya) ataukah aktivitas manusia di atas lahan DAS Deli tanpa memperhatikan aspek lingkungan?

Penutup: Lahan Kritis vs Rehabilitasi di Sumatera Utara

Secara umum di Sumatera Utara, kawasan kritis terus bertambah. Pada tahun 2004 terdapat 1.665.908,68 ha atau 26,53% lahan kritis di Sumatera Utara. Angka lahan kritis itu terus bertambah bukan berkurang meskipun gerakan rehabilitasi digaungkan. Pada tahun 2010, Kepala BPDAS Wampu Ular, melaporkan seluas 2.471.246,61 ha atau 35,14% lahan di Sumatera Utara berupa lahan kritis. Dengan demikian terdapat penambahan seluas 805.337,93 ha lahan kritis di Sumatera Utara dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (2004-2010).

Berdasarkan data BP DAS Wampu Ular dan BP DAS Asahan Barumun diketahui rehabilitasi lahan di Sumatera Utara selama 5 tahun terakhir seluas 85.047,77 ha atau hanya 17.009,55 ha per tahun. Sementara pada saat bersamaan, laju penambahan lahan kritisnya mencapai 134.222,99 ha per tahun. Terlihat jelas, kerusakan hutan dan lahan jauh melebihi kapasitas untuk memperbaiki.

Oleh karena itu, dengan luas lahan kritis pada tahun 2010 sebesar 2.471.246,61 ha diperlukan waktu rehabilitasi lebih dari 145 tahun! Itu hanya dapat dicapai bila tidak ada penambahan lahan kritis baru. Mungkinkah itu dicapai atau bencana terus berlanjut?

Jawaban pesimisnya, tidak! Bila perilaku terhadap lahan dan hutan masih berjalan sebagaimana yang saat ini terjadi. Ketika penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sumatera Utara yang saat ini sedang dilakukan tidak berbasis DAS. Ketika berbagai kepala daerah mengusulkan kawasan hutan dirubah menjadi kawasan non hutan. Ketika hutan terus dibabat tanpa mengindahkan aspek kelestarian. Ketika eksekutif terus memberi izin pembangunan di kawasan lindung. Ketika aparat bermain mata dengan pelanggar penggunaan lahan. Ketika rakyat tak berdaya melihat berbagai kerusakan atau mereka sudah apatis! Maka lahan kritis terus bertambah mengalahkan kemampuan dalam merehabilitasi. Dan akibatnya, banjir dan bencana ekologis lainnya akan berkelanjutan!

Jawaban optimisnya adalah YA! Bila perilaku pembangunan dikembalikan ke jalan yang benar. Harus ada perubahan yang radikal, dan pemerintah yang diberi kekuasaan seharusnya menjadi pelopor. Tata ruang harusnya berbasis DAS. Demikian juga aktivitas pembangunan juga seharusnya berbasis ekosistem atau dalam satu kesatuan DAS, tidak hanya berpatokan pada batas administrasi. DAS adalah suatu ekosistem yang komponennya saling bergantungan. Perubahan suatu komponen ekosistem akibat pembangunan akan berpengaruh pada komponen ekosistem lainnya. Sehingga aktivitas pembangunan di suatu tempat akan berdampak kepada tempat lain dalam suatu DAS meskipun berbeda wilayah administrasi.

Semoga banjir Kota Medan di awal tahun 2011 ini menyadarkan pemerintah agar bekerja dengan sepenuh hati dan profesional, para pengusaha yang tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi sesaat namun berbasis keseimbangan lingkungan, penegak hukum yang tidak bermain mata dengan pelanggar bukan takluk oleh duit, dan rakyat yang berdaya memperjuangkan hak-haknya.

Semoga banjir dan bencana ekologis lainnya tidak lestari. Cukup sampai disini!

Medan, 6 Januari 2011

 

 

Air bah mulai memasuki permukiman di kompleks USU

Air mulai merendam Jl Dr Mansur di depan kampus USU Medan

 

Jalan raya ibarat sungai

Read Full Post »