Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Opini’ Category

Mengomunikasikan sains kepada para pengambil kebijakan perlu strategi khusus agar berhasil. Apa saja strategi para ilmuwan untuk hal tersebut?

Hannah Safford dan Austin Brown menguraikan di Nature sbb: https://www.nature.com/articles/d41586-019-02372-3

Read Full Post »

Pendahuluan

Pantai Indonesia merupakan kawasan yang rawan diterjang tsunami karena letaknya yang berada pada pertemuan lempeng-lempeng tektonik aktif. Hamzah dkk. (2000) melaporkan dalam kurun 1600-1999 terdapat 105 tsunami yang melanda pantai Indonesia. Pada periode 1991 – 2012 telah terjadi 27 gempa bumi yang memicu tsunami (Pribadi dkk., 2013). Oleh karena itu, kejadian tsunami telah meningkat hampir 5 kali menerjang pantai-pantai di Indonesia pada periode 1991-2012 dibandingkan dengan periode 1600-1999.

Salah satu bencana tsunami yang tidak saja melanda pantai Indonesia, namun juga pantai-pantai di 13 negara di Asia dan Afrika adalah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang oleh masyarakat dunia dikenal dengan Indian Ocean Tsunami. Tsunami tersebut dipicu oleh gempa bumi besar (9,1-9,3 SR) yang berpusat di sebelah barat Meulaboh atau sebelah utara pulau Simeulue, Aceh. Energi yang dilepas oleh gempa dahsyat di penghujung tahun 2004 tersebut sangat besar, yakni sekitar 1,1 x 1018 joule (Lay dkk., 2005) atau sekitar 80.000 kali bom yang dijatuhkan sekutu di Hiroshima, Jepang tahun 1945 (Halif dan Sabki, 2005) yang mengakhiri Perang Dunia ke-2. Energi yang sangat dahsyat. Tsunami tersebut tidak saja menyebabkan kerusakan pantai dan infrastruktur yang sangat besar, namun juga korban jiwa yang sangat banyak. Bencana tsunami ini juga yang kemudian “mengakhiri” konflik/perang antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Berdasarkan penelitian oleh Monecke dkk. (2008), 3 tsunami besar juga telah melanda pantai Aceh sebelum tsunami besar tahun 2004 yang terjadi dalam kisaran 780-990, 1290-1400 dan 1907 atau dikenal dengan tsunami purba. Dengan demikian, terdapat potensi bencana tsunami besar pada masa-masa mendatang.

Fakta-fakta lapangan

Hasil analisis spasial pantai Aceh oleh Iverson dan Prasad (2007) diketahui bahwa kerusakan pada kawasan terbangun 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan kawasan berhutan. Danielsen dkk. (2005) juga melaporkan bahwa kawasan pantai berhutan di Tamil Nadu, India tidak mengalami kerusakan atau hanya mengalami kerusakan ringan, sementara kerusakan berat terjadi pada pantai tak berhutan. Hal ini menunjukan bahwa hutan mampu meredam atau mengurangi dampak tsunami.

Tsunami dengan ketinggian gelombang sampai 5 m tidak menyebabkan kerusakan yang berarti pada kawasan yang terlindung oleh hutan mangrove yang lebat, sebagaimana penulis jumpai di Singkil, Simeulue dan Lahewa (Nias). Namun, tsunami dengan ketinggian yang sama menyebabkan kerusakan berat pada kawasan yang tidak memiliki hutan mangrove atau hutan mangrovenya telah rusak sebelum tsunami menerjang, seperti di Sirombu (Nias), Kuala Pekanbaro (Aceh Pidie) dan Kuala Keureutou (Aceh Utara).

Kerusakan berat infrastruktur dan sumberdayanya terjadi di sepanjang pantai barat dan utara Aceh. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, seperti Borrero (2005), Borrero dkk. (2006a), Jaffe dkk. (2006), Matsutomi dkk. (2006), Lavigne dkk. (2009), dan Prasetya (2011), pantai barat Aceh dari Ujung Pulot sampai Lhok Nga diterjang tsunami dengan ketinggian rata-rata 30 m dan maksium mencapai 51 m. Selanjutnya pantai utara Aceh, termasuk pantai Banda Aceh, ketinggian gelombang tsunami sebagian besar berkisar 15-20 m dan maksimum 25 m. Perlu dicatat bahwa, hutan mangrove dan hutan pantai pada kawasan tersebut sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak atau penggunaan lainnya sebelum tsunami tiba. Ketika tsunami menerjang, hutan mangrove yang tersisa telah terfragmentasi dengan luasan yang kecil. Namun, sungguh ajaib banyak pepohonan mangrove dijumpai tetap tegak meski diterjang tsunami besar (Gambar 1). Hutan mangrove dengan tegakan pepohonan besar juga dijumpai tidak tumbang karena tsunami dengan ketinggian lebih dari 15 m, namun beberapa bulan kemudian pepohonan mangrove tersebut mati karena tanahnya turun sekitar 1 m di Kuala Rigaih, Aceh Jaya (Gambar 2) sebagai dampak lain dari gempa bumi.

Gambar 1. Berbagai kondisi hutan mangrove di sekitar areal tambak yang hancur di Tibang, Syiah Kuala, Banda Aceh beberapa saat setelah tsunami 2004. Sebagian besar pohon mangrove yang besar tetap survive (atas), dan mangrove yang tumbuh soliter tumbang karena tsunami (bawah, kiri) dan tegakan muda mangrove yang rapat yang tetap bertahan meski dilanda tsunami (bawah, kanan).

 

Gambar 2. Tegakan mangrove yang mampu bertahan dari terjangan tsunami dengan tinggi gelombang lebih dari 15 m di Kuala Rigaih, pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan pusat gempa dan tsunami 2004. Foto diambil beberapa bulan setelah tsunami dimana pepohonan mangrove telah mati yang diduga akibat turunnya tanah sekitar 1 m akibat gempa.

 

Hasil serupa juga dilaporkan terlihat di Pantai Sri Langka seperti dilaporkan Dahdouh-Guebas dkk. (2005), dimana hutan mangrove primer mampu melindungi Pantai dari tsunami 2004. Dahdouh-Guebas dkk. (2005) juga menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki kapasitas sebagai pelindung pantai dari tsunami.

Kathiresan dan Rejendran (2005) menemukan hubungan terbalik antara korban jiwa dengan luas hutan mangrove di pantai tenggara India, semakin luas hutan mangrove semakin sedikit korban jiwanya. Ketinggian tsunami rata-rata yang melanda pantai tersebut adalah 2.8 m (Kathiresan dan Rejendran, 2006). Selanjutnya, Vermaat dan Thampanya (2006) mendukung hasil kajian Kathiresan dan Rejendran (2005) bahwa kematian dan kehilangan properti lebih rendah pada kawasan di belakang hutan mangrove.

Dahdouh-Guebas (2006) melaporkan bahwa sekitar 93% dari 418 perkampungan yang terlindung oleh hutan mangrove primer di sepanjang pantai Andaman selamat dari terjangan tsunami. Sementara itu, perkampungan yang hutan mangrovenya telah rusak sebelum tsunami tiba, diperkirakan 80-100% mengalami kerusakan berat. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Chang dkk. (2006).

Faktor-faktor efektivitas mangrove sebagai pelindung

Mazda dkk. (1997a, 1997b), Massel dkk. (1999), Dahdouh-Guebas dkk. (2005), Kathiresan dan Rejendran (2005), MSSRF (2005), Alongi (2008), Bahuguna dkk (2008), Osti dkk. (2009) dan Bao (2011) menyatakan bahwa hutan mangrove di sepanjang pantai mampu mengurangi ketinggian gelombang tsunami setelah melewati hutan mangrove tersebut. Selain mengurangi ketinggian gelombang tsunami, energi tsunami juga berkurang setelah melewati hutan mangrove. MSSRF (2005) menjelaskan bahwa kecepatan gelombang tsunami berkurang akibat terhalang oleh tegakan hutan, dan volume air juga berkurang dan terpecah, sehingga gelombang yang mencapai daratan juga jauh berkurang.

Quartel dkk. (2007) dan Alongi (2008) menyatakan bahwa peredaman energi gelombang tsunami tergantung pada struktur hutan mangrove, seperti konfigurasi batang, perakaran dan diameter cabang. Hasil-hasil penelitian oleh Mazda dkk. (1997a, 1997b, 1999), Massel dkk. (1999), Hiraishi dan Harada (2003), Quartel dkk. (2007), Tanaka dkk. (2007, 2009, 2011), Onrizal dkk (2009), Teh dkk. (2009), Yanagisawa dkk. (2009a, 2009b, 2010), Bao (2011) dan Onrizal dan Mansor (2016) antara lain menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat lebih efektif dalam mengurangi gelombang tsunami dibandingkan hutan mangrove yang memiliki kerapatan jarang.

Hasil studi Yanagisawa dkk. (2009a, 2009b, 2010) in pantai Thailand dan Banda Aceh setelah tsunami 2004 melaporkan bahwa tingkat survive pohon mangrove meningkat seiring dengan meningkatnya diameter. Mazda dkk. (2006) melaporkan bahwa hutan mangrove pada zonasi Sonneratia spp. lebih besar kemampuannya dalam mengurangi gelombang tsunami dibandingkan pada zonasi Kandelia candel dengan perbandingan kemampuan 3:1. Hal ini diduga karena kehadiran akar-akar pensil yang kokoh pada Sonneratia spp. (Gambar 2) yang tidak dimiliki oleh K. candel. Mazda dkk. (1997a) juga melaporkan bahwa kemampuan mengurangi gelombang tsunami K. candeljuga lebih rendah dibandingkan dengan Bruguiera spp. dan Rhizophora spp. karena K. candel tidak memiliki akar di atas permukaan tanah yakni pneumatophora berupa akar lutut pada Bruguiera spp. dan akar tunjang pada Rhizophora spp. Selanjutnya Mazda dkk. (1997b) menyatakan bahwa hidrodinamika rawa mangrove berubah dengan perubahan spesies, kerapatan tegakan dan kondisi pasang surut.

Quartel dkk. (2007) melaporkan bahwa pengurangan ketinggian tsunami oleh hutan mangrove yang memiliki tegakan campuran (umur dan spesies) lebih besar antara 5,0-7,5 kali lebih besar dari pantai berpasir saja. Berdasarkan hasil penelitian lapang di banda Aceh, Yanagisawa dkk. (2010) menghasilkan model numerik dimana sekitar 80% dari hutan mangrove berumur 30 tahun dengan diameter 20 cm akan survive dari tsunami dengan tinggi gelombang 5 m dan mengurangi sekitar 50% energi hidrodinamika tsunami.

Mazda dkk. (1997a, 1997b), Dahdouh-Guebas dkk. (2005), Tanaka dkk. (2007), Alongi (2008), Koch dkk. (2009), Tanaka (2009), Yanagisawa (2009a, 2009b, 2010) melaporkan bahwa komposisi jenis hutan mangrove berkorelasi dengan kapasitasnya dalam mengurangi energi tsunami. Pasca bencana tsunami 2004, berdasarkan penelitian di Andaman Tanaka dkk. (2007) menemukan bahwa Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata secara khusus efektif dalam menyediakan perlindungan dari tsunami sebagai akibat dari ketersedian struktur perakarannya yang kompleks. Hal yang sama juga penulis temui di pantai-pantai Aceh dan Sumatera Utara yang terdampak tsunami 2004 (Gambar 3).

Gambar 3. Akar nafas yang kokoh dari Sonneratia alba (A) yang diameter pangkal akar dapat mencapai 10 cm (A, insert), dan akar tunjang yang kompleks dari Rhizophora spp. (B) berperan penting dalam mengurangi energi gelobang tsunami. Gambar diambil di Nias 3 bulan setelah tsunami 2004.

Penutup

Efektivitas hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari tsunami dapat disarikan sebagai berikut (a) hutan mangrove dengan jenis campuran lebih efektif dibandingkan dengan hutan mangrove sejenis (monokultur), (b) hutan mangrove yang lebat lebih efektif dibandingkan dengan hutan mangrove yang jarang, (c) pepohonan mangrove dengan akar nafas yang komplek lebih efektif pepohonan mangrove tanpa akar nafas, (d) hutan mangrove dengan struktur campuran lebih efektif dibandingkan dengan struktur tunggal, (e) hutan mangrove yang lebarnya tebal lebih efektif dibandingkan hutan mangrove yang lebarnya tipis, dan (f) hutan mangrove dengan multi-tajuk lebih efektif dibandingkan hutan mangrove yang hanya memiliki tajuk tunggal. Pada akhirnya, hal-hal tersebut semoga menjadi perhatian dan pertimbangan dalam merancang kegiatan pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove yang secara khusus ditujukan sebagai pelindung pantai dari tsunami.

Daftar Pustaka

Alongi (2008), Estuarine, Coastal and Shelf Science76 (1), 1-13.
Bahuguna dkk. (2008), Int. J. App. Earth Obs. 10, 229-237
Bao (2011), Oceanologia, 53 (3), 807-818
Borrero (2005), Science308 (5728), 1596-1596.
Borrero dkk. (2006a), Earthquake Spectra22 (S3), 93-104.
Chang  dkk. (2006), Earthquake Spectra22(S3), 863-887.
Dahdouh-Guebas (2006), In : 2006 McGraw-Hill Yearbook of Science and Technology, McGraw-Hill Professional, New York, USA: 187-191
Dahdouh-Guebas dkk. (2005), Current biology15 (12), R443-R447
Danielsen dkk. (2005), Science 310 (5748), 643
Halif dan Sabki (2005), American Journal of Applied Sciences 2 (8), 1187-1192
Hamzah dkk. (2000), Journal of Natural Disaster Science22(1), 25-43
Hiraishi dan Harada (2003), Report of the Port and Airport Research Institute42 (2), 1-23
Iverson dan Prasad (2007), Landscape Ecology22(3), 323-331
Jaffe dkk. (2006), Earthquake Spectra 22 (S3), 105–135
Kathiresan dan Rejendran (2005), Estuarine, Coastal and Shelf Science 65, 601-606
Kathiresan dan Rejendran (2006), Estuarine, Coastal and Shelf Science67 (3), 542
Koch dkk. (2009), Frontiers in Ecology and the Environment(1), 29-37
Lavigne dkk. (2009), Pure Applied Geophysics 166, 259-281
Lay dkk (2005), Science308 (5725), 1127-1133
Massel dkk. (1999), Fluid Dynamics Research 24(4), 219-249
Matsutomi dkk. (2006), Coast Eng J 48(2):167–195
Mazda dkk. (1997a), Mangroves and Salt marshes(2), 127-135
Mazda dkk. (1997b), Mangroves and Salt Marshes(3), 193-199
Mazda dkk. (1999), Mangroves and Salt Marshes 3(1), 59-66
Mazda dkk. (2006), Wetlands Ecology and Management14 (4), 365-378
Monecke dkk. (2008), Nature455 (7217), 1232-1234
MSSRF (2005), Appropriate Technology, 32 (1), 16-17
Onrizal dkk. (2009), Wetland Science, 7 (2), 130-134
Onrizal dan Mansor (2016), Biodiversitas 17(1), 44-54
Osti dkk. (2009), Disasters33 (2), 203-213
Prasetya (2011), Natural hazards58 (3), 1029-1055
Pribadi dkk., 2013). Journal of Mathematical & Fundamental Sciences45 (2), 189-207
Quartel dkk. (2007), Journal of Asian Earth Sciences29 (4), 576-584
Tanaka (2009), Landscape and Ecological Engineering(1), 71-79
Tanaka dkk. (2007), Landscape and Ecological Engineering(1), 33-45
Tanaka dkk. (2009), Civil Engineering and Environmental Systems26 (2), 163-180
Tanaka dkk. (2011), Landscape and Ecological Engineering, 7, 127–135
Teh dkk. (2009), Journal of Asian Earth Sciences36 (1), 38-46
Vermaat dan Thampanya (2006), Estuarine, Coastal and Shelf Science69 (1), 1-3
Yanagisawa dkk. (2009a), Estuarine, Coastal and Shelf Science81(1), 27-37
Yanagisawa dkk. (2009b), Polish Journal of Environmental Studies18 (1), 35-42
Yanagisawa dkk. (2010), Journal of Geophysical Research, 115, C06032, 1–11

Onrizal, Ph.D
Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara
Ketua SDM Bidang Pertanian Kehutanan dan Kelautan, Indonesian Scholars Network (ISNet)

Link publikasi awal di ISNet

 



			

Read Full Post »

 

[tulisan ini pertama diterbitkan di Mongabay Indonesia pada 2 Januari 2016: http://www.mongabay.co.id/2016/01/02/mencermati-kondisi-mangrove-11-tahun-pasca-tsunami-aceh/]

 

Mencermati Kondisi Mangrove 11 Tahun Pasca Tsunami Aceh

Picture1

Kita baru saja memperingati 11 tahun tsunami Aceh. Waktu berjalan terasa begitu cepat. Tak terasa telah 11 tahun sudah bencana alam berupa gempa sangat kuat yang memicu tsunami besar pada 26 Desember 2004 berlalu. Saking dahsyatnya, tsunami itu tidak saja melanda pesisir utara Sumatera, namun juga wilayah pesisir di 13 negara lainnya di Samudera Indonesia/India sampai pantai timur Afrika. Meski demikian, ingatan kita tak akan lupa akan besarnya dampak yang diakibat oleh bencana alam itu. Sejarah mencatat,  sebagaimana dilaporkan oleh Athukorala dan Resosudarmo tahun 2006, bahwa kombinasi gempa dan tsunami di akhir tahun 2004 itu menyebabkan korban manusia dan kerugian terbesar dalam sejarah kehidupan manusia di bumi sampai saat ini. Dan kerusakan terberat dan korban terbanyak terdapat di Aceh.

Selain berita kesedihan, tsunami itu juga memberi pelajaran penting bagi kita. Salah satu pelajaran pentingnya adalah hutan mangrove yang sehat mampu menjadi benteng, peredam tsunami, sehingga mampu mengurangi dampak kerusakan tsunami. Fakta-fakta di lapangan seperti banyak dilaporkan oleh banyak peneliti sesaat setelah tsunami melanda bahwa perkampungan yang berada di belakang hutan mangrove yang lebat selamat dari terjangan tsunami. Sebaliknya, kerusakan berat serta korban nyawa banyak terjadi pada perkampungan yang berhadapan langsung dengan laut atau hutan mangrovenya telah rusak atau hilang sebelum tsunami melanda. Pada kasus hutan mangrove yang rusak malah dapat meningkatkan daya rusak tsunami karena (1) tsunami tersebut membawa pepohonan mangrove yang tumbang karena tegakannya sudah tidak kompak sebelum tsunami tiba dan atau (2) fragmentasi hutan mangrove menyebabkan aliran tsunami teralirkan kepada celah-celah mengikuti fragmentasi hutan sehingga arusnya semakin kuat.

Mangrove Aceh sebelum tsunami dan dampaknya

Sebelum tsunami melanda sebagian besar lahan pasang surut pantai Aceh sudah tak ditumbuhi mangrove. Chen dkk (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2004, mangrove di Aceh Besar dan Banda Aceh hanya sekitar 0,5% saja dari areal pesisir, dan hutan pantai jauh lebih kecil lagi, hanya sekitar 0,2% saja. Sebagian besar hutan mangrove telah dikonversi menjadi tambak. Hutan mangrove dan hutan pantai yang tersisa itupun dalam kondisi terfragmentasi.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh BAPPENAS dan The International Donor Community (2005) untuk seluruh kawasan pesisir Aceh diinformasikan bahwa pada tahun 2000, hutan mangrove yang bagus hanya 30.000 ha (8,8%) yang sebagian besar terdapat di Pulau Simeulue, 286.000 ha (83,9%) ) dalam kondisi rusak sedang dan 25.000 ha (7,3%) rusak berat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Aceh tanpa pelindung alami ketika tsunami di akhir tahun 2004 melanda.

Pulau Simeulue yang terletak paling dekat dengan pusat gempa dan tsunami, namun tingkat kerusakan dan jumlah korban nyawa yang ditimbulkan sangat sedikit dibandingkan daerah pesisir lainnya, seperti Banda Aceh dan Aceh Besar. Selain memiliki hutan mangrove yang masih terjaga baik, warga Simeulue juga memiliki kearifan lokal yang dikenal dengan budaya Smong. Ketika gempa besar terjadi, mereka dengan segera menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Respon cepat tersebut karena mereka tahu bahwa setelah gempa besar, akan diikuti oleh naiknya air laut yang sekarang dikenal dengan tsunami. Ini adalah pengetahuan yang disampaikan secara turun temurun melalui cerita dan lagu oleh penduduk Simeulue sebagai pelajaran dari tsunami tahun 1907 yang melanda kawasan tersebut. Kearifan lokal seperti Smong tersebut, saat tsunami 2004 melanda, belum dimiliki oleh sebagain warga pesisir Aceh di daratan utama Sumatera, ditambah lagi dengan kerusakan dan kehilangan hutan mangrove yang telah terjadi.

Mangrove Aceh kini dan tantangannya

Pasca tsunami, perhatian untuk penyelamatan mangrove yang masih baik dan rehabilitasi mangrove yang rusak meningkat dengan tajam. Sampai akhir tahun 2006 saja sekitar 30 juta bibit mangrove telah ditanam oleh berbagai lembaga baik lokal, nasional dan internasional pada areal terdampak tsunami di Aceh sebagaimana dilaporkan oleh Wibisono dan Suryadiputra. Bila dengan jarak tanam 1 x 1 m, maka 3.000 ha lahan mangrove dapat tertanam. Jumlah bibit mangrove yang ditanam sampai akhir operasional BRR tahun 2009 tentu lebih besar lagi atau 5 tahun pasca tsunami. Apa lagi bila sampai saat ini, dimana rehabilitasi mangrove yang rusak tetap menjadi program prioritas pemerintah dan berbagai lembaga lainnya pasca BRR selesai melaksakan mandatnya.

Hasil analisis spasial yang dilakukan penulis sampai satu dasawarsa pasca tsunami pada daerah terdampak tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar terlihat bahwa tingkat pemulihan mangrovenya baru mencapai 70% dari kondisi tahun 2004 atau sesaat sebelum tsunami. Padahal, sebagian besar kegiatan rehabilitasi mangrove pasca tsunami dilakukan di lokasi tersebut. Apa sebab? Berdasarkan hasil observasi lapang dan laporan dari berbagai lembaga diketahui bahwa pada 2 tahun pertama kegiatan rehabilitasi tingkat keberhasilan rehabilitasi tergolong rendah atau gagal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya kualitas bibit, kesalahan penanganan di persemaian, kesalahan dalam pemilihan lokasi tanam dan persiapan lahan yang kurang, kurangnya pengalaman dalam rehabilitasi mangrove dan atau konflik kepentingan. Kelemahan dan kesalahan serupa masih ditemukan sampai saat ini, meski dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan 2 tahun pertama pasca tsunami.

Picture4

Berdasarkan pengamatan terkini, pada beberapa lokasi, hutan mangrove hasil rehabilitasi tumbuh dengan baik. Berbagai jenis biota air dan burung-burung air kembali hadir. Menunjukan hutan mangrove hasil rehabilitasi kembali pulih fungsinya. Namun demikian, ditemukan pula perusakan terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi, padahal sebelumnya mangrove telah tumbuh dengan baik. Kegiatan perusakan tersebut berupa penebangan dan juga pengalihfungsian dari hutan mangrove menjadi penggunaan lain. Hal ini tentu menjadi tantangan ke depan bagaimana menjamin kelestarian hutan mangrove hasil rehabilitasi, apalagi yang berada di kawasan milik, bukan hutan negara.

Picture8

Picture7

Selain perusakan hutan mangrove hasil rehabilitasi, juga dijumpai upaya penjualan hutan mangrove hasil regenerasi alami dengan baik di Gampong Jawa, Banda Aceh. Hal ini karena lahan tersebut berupa lahan milik. Penulis mengusulkan, agar pemerintahan Kota Banda Aceh atau pemerintahan Aceh dengan skema yang memungkinkan untuk memiliki lahan mangrove tersebut dan kemudian dijalakan kawasan lindung atau konservasi. Hutan mangrove tersebut bila dikelola demikian akan menjadi monument bagi generasi yang akan datang, dan sekaligus akan menjadi benteng alami serta juga sebagai tempat hidup biota perairan. Hal ini dalam jangka panjang akan menjamin populasi biota perairan dan pada akhirnya akan menjaga ketahanan ekonomi masyarakat pesisir di wilayah tersebut.

Picture5

Oleh karena itu, masih terdapat banyak pekerjaan rumah untuk memulihkan kondisi mangrove Aceh. Kerjasama yang baik antara pemerintah, warga dan berbagai lembaga terkait menjadi salah satu kunci utama. Kunci berikutnya adalah menghadirkan jembatan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial dan ekonomi dan aktivitas rehabilitasi dan pengelolaan mangrove. Semoga itu mampu kita hadirkan.

Onrizal

Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Email: onrizal@usu.ac.id

Read Full Post »

26 Desember 2015 ini tepat 11 tahun pasca tsunami Aceh. Tsunami besar yang dipicu oleh gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala richter (SR) di pantai barat Meulaboh itu tak hanya menerjang pesisir pantai Aceh dan Sumatera Utara, namun juga di 13 negara lainnya di Asia dan Afrika yang memiliki pantai di Samudra Hindia. Ketinggian gelobang tsunami yang dihasilkan juga dahsyat. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tinggi tsunami di pantai barat Aceh adalah 20 m dan ketinggian tsunami tertinggi tercatat di Leupung antara Bukit Ujung Riteung dan Bukit Labuhan, yakni 51 m di atas permukaan laut (Lavigne dkk., 2009). Halif dan Sabki (2005) melaporkan bahwa energi yang dilepaskan oleh tsunami tersebut setara dengan 80 ribu bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang.

Tercatat hampir 350 ribu nyawa melayang atau hilang di 14 negara yang terkena dampak tsunami 26 Desember 2004. Di Aceh sendiri, tercatat lebih dari 120 ribu nyawa melayang dan lebih dari 116 ribu orang hilang serta sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Berdasarkan publikasi oleh Athukorala dan Resosudarmo (2006) dinyatakan bahwa tsunami di akhir tahun 2004 itu tercatat sebagai bencana alam yang memakan korban terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. BAPPENAS dan Lembaga Donor Internasional (2005) melaporkan bahwa total kerusakan yang diakibatkan oleh kombinasi gempa dan tsunami tersebut mencapai US $ 4,45 milyar atau setara dengan 97% pendapatan domestik bruto Aceh, termasuk didalamnya adalah sebesar US $ 1 milyar kehilangan produktivitas. Kehilangan yang sangat besar.

Berselang 3 bulan kemudian, tepatnya 28 Maret 2005 gempa dengan kekuatan 8,7 SR berpusat di dasar lautan antara Kepulauan Banyak dan Pulau Nias. Gempa tersebut juga memicu tsunami meskipun hanya menerpa pantai barat Sumatera Bagian Utara. Kantor BRR NAD-Nias Perwakilan Nias (2008) melaporkan bahwa di Nias saja gempa dan tsunami pada akhir Maret 2005 tersebut menyebabkan 850 nyawa melayang, 11.579 orang terluka dan sekitar 70.000 kehilangan tempat tinggal.

Hasil penelitian sedimentasi oleh Monecke dan timnya yang dipublikasikan pada tahun 2008 melaporkan bahwa setidaknya telah terjadi 3 tsunami dahsyat yang sebelumnya menerjang pantai Aceh yang diperkirakan terjadi pada tahun 780-990, 1290-1400 dan 1907. Dengan demikian, tsunami besar dimasa mendatang kemungkinan besar akan terjadi kembali.

Tak hanya pantai Aceh dan Sumatera Utara, sejatinya pantai Indonesia rawan diterjang tsunami. Hal ini disebabkan wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng dunia yang selalu bergerak dan pergerakan itu pada suatu masa dapat menyebabkan gempa bumi yang kemudian memicu tsunami. Hamzah dkk. (2000) merangkum bahwa dalam kurun 1600 sd 1999 telah terjadi 105 tsunami yang menerjang pantai Indonesia atau hampir 4 tahun sekali terjadi 1 tsunami. Selanjutnya, Pribadi dan timnya (2013) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1991 sd 2012 sebanyak 27 tsunami yang dipicu oleh gempa bumi juga menerjang pantai Indonesia atau rata-rata setiap tahun terjadi tsunami. Dengan demikian, kejadian tsunami semakin sering menerpa pantai Indonesia pada periode terkini. Oleh karena itu, perlu persiapan dan kesiapan sejak sekarang untuk mengurangi dampak negatif dari tsunami yang akan terjadi dimasa mendatang.

Mangrove, pelindung dari tsunami

Kejadian dan dampak tsunami di penghujung tahun 2004 membuka mata dunia. Tidak saja oleh besarnya korban nyawa manusia, namun juga keajaiban dari hutan mangrove. Danielsen dkk beberapa saat setelah tsunami besar di penghujung tahun 2004 mempublikasi artikelnya pada salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi di dunia, Science, bahwa kerusakan yang disebabkan tsunami sangat kecil atau malah tidak ada pada kawasan pantai yang hutannya masih baik, sedangkan kerusakan berat terjadi pada pantai yang hutannya telah habis atau telah rusak sebelum tsunami tiba di pesisir India. Fakta-fakta serupa juga dilaporkan oleh Dahdouh-Guebas dan tim (2005) untuk pantai Sri Langka, Chang dkk (2006) untuk pantai Thailand dan Onrizal dkk (2009) pada pantai Nias. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2007) untuk kasus tsunami yang menerjang Pangandaran, Jawa Barat pada tahun 2006.

Dahdouh-Guebas pada tahun 2006 mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa 93% dari lebih dari 400 desa di pesisir Kepulauan Andaman yang terletak di sebelah utara Aceh selamat dari terjangan tsunami di akhir tahun 2004 karena terlindung oleh hutan mangrove yang relatif tidak terganggu. Hasil penelitian Kathiresan dan Rejendran (2005) menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara luasan hutan mangrove yang masih baik dengan korban manusia dan kerusakan infrastruktur akibat tsunami. Mereka menemukan bahwa semakin luas hutan mangrove, maka korban nyawa dan kerusakan infrastruktur akibat tsunami semakin kecil.

Namun demikian, hasil penelitian Cochard dkk (2008) melaporkan bahwa hutan mangrove yang rusak yang ditandai dengan tegakan yang tidak kompak dan terfragmentasi dapat memicu kerusakan yang lebih besar. Hal ini dimungkinkan karena tegakan mangrove yang jarang dan terfragmentasi tersebut tidak mampu menahan tsunami dan pohon yang patah atau tumbang kemudian terapung dibawa tsunami sehingga menambah daya rusak tsunami. Fragmentasi hutan juga menyebabkan pengumpulan tsunami pada celah antar tegakan hutan sehingga kekuatan perusak tsunami semakin besar pula. Hal ini terbukti dari penelitian lapang pasca tsunami 2004 di Aceh dan Thailand yang kemudian diikuti dengan permodelan komputer seperti dilaporkan oleh Yanagisawa dan tim.

Berdasarkan hasil penelitian penulis di hampir 3.000 km pantai Aceh dan Sumatera Utara dan berbagai hasil penelitian lainnya pasca tsunami 2004 dapat disimpulkan bahwa efektifitas hutan mangrove sebagai pelindung seperti diringkas berikut ini:

Kesatu, hutan mangrove yang terdiri dari banyak jenis pohon jauh lebih efektif dalam mengurangi dampak tsunami dibandingkan dengan hutan mangrove yang hanya terdiri dari sedikit atau satu jenis pohon saja. Kedua, hutan mangrove yang rapat jauh lebih efektif sebagai pelindung dari tsunami dibandingkan hutan mangrove yang jarang. Ketiga, pohon-pohon mangrove yang memiliki akar di atas tanah yang komplek (seperti akar tunjang pada pohon Rhizophora atau bakau) jauh lebih efektif dalam meredam tsunami daripada pohon mangrove yang tak memiliki akar di atas permukaan tanah (seperti pohon Excoecaria atau buta-buta). Keempat, hutan mangrove dengan struktur campuran baik jenis maupun umurnya jauh lebih efektif dari hutan mangrove yang hanya terdiri dari struktur sederhana. Kelima, hutan mangrove dengan lebar yang tebal jauh lebih efektif dalam meredam tsunami dibandingkan hutan mangrove dengan lebar yang tipis, dan keenam, hutan mangrove dengan tajuk yang berlapis jauh lebih efektif dalam meredam tsunami dibandingkan hutan mangrove dengan tajuk tunggal. Sehingga dalam bahasa sederhananya dapat dinyatakan bahwa hutan mangrove yang sehat dan tidak terganggu mampu meredam atau mengurangi dampak negatif tsunami.

Sayangnya, sebelum tsunami menerjang di penghujung tahun 2004, kerusakan hutan mangrove telah terjadi di berbagai daerah di Asia dan Afrika. Di pesisir Aceh, dalam kurun waktu 5 tahun saja dalam pesiode 1993-1998 kehilangan hutan mangrove mencapai 70,4%, yakni berkurang dari 102.970 ha (Ditjen INTAG, 1993) menjadi hanya 31.504 ha (Departemen Kehutanan, 1998). Dalam kurun waktu tersebut, rata-rata Aceh kehilangan mangrovenya seluas 14.293,2 ha per tahun. Faktor penyebab utamanya adalah konversi hutan mangrove menjadi tambak. Oleh karena itu, ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004, sebagian besar pantai Aceh tanpa sabuk pengaman alami yang bernama hutan mangrove.

Kepedulian Kita

Pasca tsunami 2004, perhatian terhadap hutan mangrove meningkat tajam. Hal ini terbukti dengan meningkatnya aktivitas rehabilitasi hutan mangrove di Aceh dengan dukungan masyarakat internasional dan dana dari APBN. Sampai akhir tahun 2006 saja, tercatat sekitar 30 juta bibit mangrove ditanam, namun sayang sebagian besar mati akibat berbagai faktor, seperti kesalahan jenis pohon yang ditanam, kesalahan penanganan di pembibitan di persemaian, kesalahan lokasi tanam, kurangnya pengetahuan dan pengalaman para pelaksana rehabilitasi, ketiadaan blue print rehabilitasi dan konflik kepentingan (Onrizal, 2006 dan Wibisono dan Suryadiputra, 2006). Setelah itu, berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, sehingga mampu meningkatkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove pada daerah terdampak tsunami di Aceh.

Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, berbagai tekanan terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi juga terjadi. Ancaman dan tekanan tersebut berupa penebangan hutan mangrove hasil rehabilitasi. Selanjutnya berupa reklamasi atau alih fungsi lahan mangrove hasil rehabilitasi menjadi permukiman. Hal ini mungkin terjadi karena (a) tahapan perencanaan rehabilitasi yang kurang matang, (b) tata ruang yang belum dipahami secara bersama dengan baik, (c) status kepemilikan lahan yang belum jelas, (d) kurangnya pemahaman akan pentingnya mangrove dalam melindungi kehidupan penduduk pesisir dari tsunami atau (e) kombinasi dari berbagai faktor tersebut.

Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa sampai satu dasawarsa pasca tsunami, tingkat rehabilitasi mangrove Aceh baru mencapai 70% dari kondisi sebelum tsunami. Tentu masih sangat luas hutan mangrove yang harus direhabilitasi, apalagi misalnya untuk mencapai kondisi pada tahun 1993. Untuk itu tidak saja diperlukan perbaikan dalam perencanaan, namun juga dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove.

Memadukan faktor-faktor ekologi, ekonomi dan sosial menjadi suatu keniscayaan dalam setiap tahapan kegiatan rehabilitasi mangrove, tidak saja di Aceh, namun juga di seluruh wilayah republik ini. Hal ini penting dilakukan, agar berbagai tekanan dan ancaman terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi dapat diminimalisir sejak dini.

Penyadaran publik dan para pengambil kebijakan publik (politisi dan birokrasi) akan pentingnya keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu kunci pelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove terbukti sangat mendukung hasil perikanan pesisir pantai. Semakin baik hutan mangrove, semakin banyak dan beragam hasil tangkap perikanan pesisir pantai. Hamilton dan Snedaker (1984) melaporkan bahwa hampir 100% udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove. Walters dkk. (2008) menginformasikan bahwa 80% species biota laut yang komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove. Sebelumnya, Martosubroto dan Naamim (1977) melaporkan bahwa setiap kehilangan 1.000 ha hutan mangrove, maka hasil tangkap udang komersial akan berkurang sebesar 112,8 ton. Dengan demikian, hutan mangrove tidak saja penting dalam melindungi pesisir pantai dari tsunami, namun juga sangat penting dalam membangun dan menjaga ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, termasuk gizi anak bangsa.

Kepedulian kita dalam melestarikan hutan mangrove yang masih baik dan merehabilitasi yang telah rusak pada akhirnya akan bermanfaat bagi kehidupan kita, ummat manusia. Tidak saja untuk kita saat ini, namun juga untuk generasi yang akan datang. Mari peduli!

Oleh Onrizal

dimuat di Harian Waspada, 25 Desember 2015, hal B5.

Harian Waspada

Read Full Post »

Gambir

Gambir. Ya, gambir biasa digunakan untuk menemani makan sirih. Tradisi yang sudah sangat lama, meskipun kini mulai berkurang ya?

Gambir yang dimaksud dihasilkan dari tumbuhan gambir (Uncaria gambir (Hunter) Roxb.) yang merupakan tumbuhan perdu. Gambir yang digunakan untuk menemani makan sirih tersebut sebenarnya dalah getahnya yang telah kering yang sebelumnya diesktrak melalui perebusan.

 

Petani gambir di Desa Bongkaras di tepi Hutan Lindung Batuardan, Dairi menceritakan bahwa dalam setahun, tanaman gambir dapat dipanen sebanyak 3 s.d. 4 kali, atau sekali dalam 3 atau 4 bulan. Setiap panen saat ini dapat menghasilkan sekitar Rp. 12.500.000 per hektar dari gambir yang telah dikeringkan. Hasil yang cukup lumayan, bukan?

Persoalannya adalah tanaman gambir biasanya ditanam tanpa pohon peneduh, dan biasanya untuk perluasan kebun terlebih dahulu dengan menebang hutan alias mengkonversi hutan menjadi kebun gambir. Oleh karena tanaman ini ditanam di dataran tinggi, konversi hutan pada daerah demikian dapat memicu terganggunya fungsi hutan dalam pengaturan tata air dan pencegahan erosi dan tanah longsong. Sehingga perlu terobosan untuk mengurangi dampak negatif dari budidaya gambir selama ini. Ada ide atau solusi?

Picture1

Tanaman Gambir

Picture2Getah gambir yang sedang dikeringkan setelah diekstrak

Read Full Post »

Kebakaran hutan dan lahan di Riau tak hanya menjadikan warga Riau seperti hidup dalam hidup dalam dapur bertungku kayu tak cukup kering dengan pintu dan jendela ditutup. Kayu yang tak cukup kering menyebabkan pembakaran tak menjadi sempurna dan menghasilkan asap lebih banyak. Pernahkah anda merasakan? Sangat menyesakkan. Kekurangan oksigen, mata perih, ISPA meradang.

Ratusan km dari sumber api di pantai timur Sumatera itu, 3 hari rekan penelitian saya tak bisa mendarat di Bandara Internasional Minangkabau Padang karena bandara tertutup asap: jarak pandang tak memungkinkan pilot untuk mendaratkan pesawat.

Ketika sebagian anggota tim melanjutkan ke lokasi survey di sekitar Danau Maninjau, semua kaget alang kepalang: danau maninjau “hilang”, tak terlihat dari pandangan! Begitupun pergunungan yang kokoh itupun seperti disulap hilang tak berbekas.

Masihkan pembakar hutan dan lahan, apalagi cukongnya, akan terus bebas berkeliaran tanpa sanksi yang menghentikannya dan menghalangi yang lain untuk ikut membakar? Bila itu terus berlangsung, asap akan terus lestari. Semoga sebaliknya ya.maninjau1

Picture1

Read Full Post »

ou2

Dari empat primata kera besar (great apes) di dunia, orangutan merupakan satu-satunya yang hidup di benua Asia, sedangkan tiga kerabat lainnya, yakni gorila, simpanse, dan bonobo hidup di benua Afrika (Rijksen & Meijaard 1999; Buij et al. 2002). Sampai akhir masa Pleistocen, orangutan masih menyebar pada kawasan yang meliputi China bagian selatan hingga Pulau Jawa, namun saat ini hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Borneo (Bacon & Long 2001). Hasil lokakarya IUCN-Primate Spesialist Group membagi orangutan menjadi dua spesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang menempati daerah sebaran yang sempit di sebelah utara bagian utara dan selatan Danau Toba di Pulau Sumatera dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terdapat di pulau Kalimantan dan di beberapa tempat yang merupakan kantong-kantong habitat hutan Sabah dan Serawak (Groves 2001; Rijksen & Meijaard 1999; Supriatna & Wahyono 2000). Sekarang, orangutan Sumatera di dunia hanya ditemukan di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

ou1

Orangutan merupakan “umbrella species” dalam konservasi hutan hujan tropis di Indonesia, khususnya hutan Sumatera dan Kalimantan. Mengingat kondisi hutan sebagai habitat alami orangutan dan kebutuhan akan daerah jelajah yang luas serta keanekaragaman jenis flora fauna hidup bersamanya, orangutan dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi. Keberadaan dan kepadatan populasi orangutan dapat digunakan sebagai ukuran konservasi hutan hujan tropis tanpa analisis yang lebih jauh mengenai struktur keanekaragaman jenis flora dan fauna di suatu kawasan tertentu. Hal ini dapat berarti bahwa konservasi populasi orangutan liar identik dengan melakukan konservasi terhadap ekosistem hutan hujan tropis yang memiliki struktur keanekaragaman yang unik (Whitten et al. 1997; Rijksen & Meijaard 1999).

Sebagian besar makanan orangutan adalah buah-buahan. Dengan demikian, bagi kelestarian hutan, orangutan merupakan pemencar biji terbaik. Oleh karena itu, orangutan sangat berperan penting bagi regenerasi hutan tropika.

ou3

Orangutan Sumatera tinggal dengan densitas yang rendah (mulai dari nol sampai tujuh ekor per km2 di Sumatera), sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas (Departemen Kehutanan 2007). Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu habitat terpenting dan mengandung sebagian besar dari orangutan Sumatera yang masih tersisa.

OU

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan luas sekitar 1.094.962 ha selain merupakan rumah bagi orangutan Sumatera, juga merupakan rumah bagi berbagai satwa langka lainnya, seperti harimau Sumatera, badah Sumatera, harimau Sumatera, ratusan jenis burung dan satwa lainnya serta berbagai jenis flora yang membentuk hutan tropika yang sangat kaya. Kawasan hutan TNGL selain berfungsi sebagai habitat flora fauna langka dan penting, juga merupakan hulu dari 10 DAS utama di Aceh dan Sumatera Utara yang airnya menghidupi lebih dari 4 juta penduduk yang hidup di sekitar kawasan TNGL. Keberadaan hutan di kawasan TNGL juga menjadi benteng bagi daerah di sekitarnya dari ancaman banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.  Oleh karena itu, keutuhan ekosistem TNGL sangat penting untuk dijaga, tidak saja untuk kelestarian orangutan Sumatera dan berbagai jenis flora fauna lainnya, namun lebih daripada itu, hutan TNGL adalah benteng dalam menjaga kehidupan manusia.

#save forest; #save orangutan, #save our live

Read Full Post »

Orangutans are the only great ape in Asia. Sumatran orangutans (SOUs) (Pongo abelii) are distributed in Northern Sumatra, Indonesia. To date, Sumatran orangutan is as one of  the most critically endangered species in the world. The populations are drop drastically and going down every year.  Due to a massive declining of its populations in the wild, therefore it is postulated that the species will face extinction in near future. The main factor of decline of the SOU populations is habitat loss from deforestation and forest degradation. Other factor is illegal hunting and trading.

SOU populationFig 1. Sumatran orangutan populations by year

 

Picture2Fig 2. Sumatran orangutans in Bukitlawang, Gunung Leuser National Park, Sumatra

#saveforest will #saveorangutan and #saveourlive

Read Full Post »

Tsunami, Teknologi Early Warning System dan Kearifan Masyarakat Lokal

Onrizal

 

Ketika malam memasuki peraduan pada 25 Oktober 2010, gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter (SR) mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang berhadapan langsung dengan samudra Hindia. Awalnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan teknologi Early Warning System (EWS) yang dikelolanya mengingatkan gempa tersebut berpotensi tsunami. Penduduk kota Padang dan sekitarnya segera mengungsi. Setelah sekitar 1 jam, peringatan tsunami diumumkan BMKG berakhir karena tsunami tidak terjadi.

Namun apadaya, ketika peringatan tsunami berakhir oleh BMKG, saudara kita di Mentawai justru sedang bergulat melawan terjangan gelombang tsunami. Namun pemerintah selama hampir 24 jam tidak mempunyai informasi yang akurat dan tepat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi (kompas.com, 30/10/2010). Tsunami kembali membawa duka. Lebih dari 400 nyawa penduduk Kepulauan Mentawai melayang, ratusan belum ketemu dan ribuan menjadi pengungsi.

Lalu, ada apa dengan teknologi EWS atau sistem peringatan dini yang dikelola BMKG itu?

Teknologi EWS: Sejarah dan Track Recordnya

Setelah beberapa peristiwa tsunami menelan cukup banyak korban jiwa, pada tahun 1949 Amerika Serikat membentuk Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) di Honolulu, Hawaii. Pusat peringatan dini tersebut tersambung dengan jaringan pusat-pusat pencatat gempa secara internasional di Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Philipina, Fiji, Cilie, Hongkong, New Zealand dan Samoa.

Bolt dalam bukunya Eartquake, a primer (1978) antara lain menulis ketika tanggal 22 Mei 1960 gempa besar di lepas pantai Chile dan kemudian PTWC mengingatkan tsunami segera terjadi, namun masyarakat Hawaii mengabaikan dan ternyata 10 jam kemudian gelombang tsunami benar datang, sehingga menewaskan 61 orang. Demikian juga pada tanggal 28 Maret 1964 ketika gempa besar di teluk Alaska, dan PTWC juga memperingatkan akan terjadi tsunami, namun lagi-lagi masyarakat pantai California juga mengabaikan dan ternyata 4,5 jam berikutnya tsunami menerjang yang menewaskan 120 orang. Hal ini terjadi karena sebelumnya banyak alarm palsu dari PTWC, sehingga masyarakat mengacuhkan peringatan yang diberikan.

Pada tahun 2003, ke dalam sistem pemantauan tsunami tersebut ditambahkan detektor-detektor canggih di lautan yang terpasang pada pelampung-pelampung yang dijangkar ke dasar laut yang secara terus menerus mengirimkan berbagai data metereologi dan tekanan gelombang laut yang terjadi di atasnya ke PTWC. Dalam skenarionya, begitu suatu gempa besar tercatat, hal ini langsung dibertahukan ke PWTC. Apabila berbagai analisis yang dilakukan dalam sekejap waktu mengindikasikan adanya kemungkinan akan terjadi suatu tsunami, PTWC secara resmi mengeluarkan peringatan dan pejabat setempat segera mengumumkannya kepada publik lewat radio, televisi dan pengeras-pengeras suara.

Meskipun demikian, M. Eliot menulis sebuah artikel pada majalah TIME 10 Januari 2005 yang menyajikan data yang sangat mengkawatirkan, dimana selama 56 tahun PWTC beroperasi tingkat keberhasilannya ternyata sangat rendah sekali, dimana 75% dari peringatan yang dikeluarkan itu palsu. Artinya tsumani yang dikira akan terjadi ternyata tidak muncul dan evakuasi penduduk (yang biayanya tidak sedikit) menjadi sia-sia.

Teknologi EWS di Indonesia

Sementara itu, teknologi EWS di Indonesia belum pernah ada sampai peristiwa tsunami besar di akhir tahun 2004, meskipun pelbagai kejadian tsunami sebelumnya telah menelan korban jiwa dan harta yang juga besar. Hasil penelusuran Pratikto dkk (1998) menunjukkan bahwa tsunami yang melanda Flores pada tahun 1992 memakan 1918 korban jiwa, dan demikian juga dengan tsunami yang menerpa Biak tahun 1996 yang melenyapkan 104 jiwa.

Berbagai hasil penelitian telah mengabarkan betapa ancaman tsunami begitu nyata di wilayah pantai Indonesia, dan itu sudah disampaikan jauh sebelum tsunami 26 Desember 2004 tersebut. Para ahli juga telah merekomendasikan pentingnya dilakukan upaya mengurangi dampak tsunami.

Namun, peringatan ilmiah itu baru mendapat respon yang memadai dari pihak pemerintah Indonesia setelah tsunami 26 Desember 2004 dengan korban yang tercatat terbesar dalam sejarah. Dengan dukungan dunia Internasional, pemerintah Indonesia kemudian membangun teknologi EWS.

Mengapa butuh bantuan dan dukungan dunia Internasional? Salah satu alasan utamanya adalah teknologi EWS tersebut sangat mahal dan belum sepenuhnya kita kuasai.

Setelah pemasangan teknologi EWS setelah tsunami Aceh, nah, untuk pertama kalinya sirine dari teknologi EWS di NAD menyalak pada Senin 4 Juni 2007 tanpa ada gempa yang mendahuluinya. Demikian pula dengan teknologi EWS yang terpasang di pantai barat Sumatera Barat juga tak mampu mendeteksi tsunami terayar di Mentawai. Akibatnya korban nyawa tak terelakkan.

Alam Takambang Jadi Guru

Ketika banyak korban nyawa melayang di Aceh saat tsunami 26 Desember 2004, namun sangat sedikit korban nyawa di pulau Simeulue yang sangat dekat dengan pusat gempa dan tsunami. Mengapa bisa demikian? Rupanya, mereka memiliki pengetahuan/kearifan lokal yang telah terbukti menyelamatkan dan mengurangi dampak tsunami. Pengetahuan gejala alam tentang tsunami telah dikenal lama dan secara turun temurun diwariskan.

Penulis juga menemukan pengetahuan yang sama pada masyarakat Lahewa di pantai utara Nias, sehingga mereka juga selamat dari hantaman tsunami. Namun ironisnya, pengetahuan tersebut belum dimiliki oleh masyakat di pantai barat Nias, sehingga banyak korban nyawa di pantai barat Nias tersebut, padahal mereka berada dalam satu pulau yang tidak terlalu besar.

Kabar terbaru dari tsunami Mentawai hampir mirip dengan kondisi Nias. Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, sebagaimana dikutip kompas 1 Nov 2010 menyatakan bahwa rumah-rumah di sebuah perkampungan di Kecamatan Pagai Selatan rata dengan tanah, tetapi seluruh warganya selamat dari hantaman tsunami. Masyarakat di kampung bisa selamat dari hantaman gelombang tsunami karena saat terjadi gucangan gempa dibunyikan kentungan oleh kepala sukunya. Begitu mendengar kentungan, warga langsung lari ke arah perbukitan. Namun kearifan itu tak dimiliki oleh sebagian kampung lainnya di Kepulauan Mentawai.

Masyarakat di tiga wilayah tersebut yang selamat dari tsunami dengan pengetahuan yang turun temurun dari tetua mereka. Pengetahuan seperti itu dikenal dengan interpretasi lingkungan, yakni mengenal gejala alam dan keterkaitannya sehingga bisa diambil sikap dan tindakan yang tepat atau dalam kamus orang minang disebut dengan Alam Takambang Jadi Guru.

Penutup

Kini, kearifan lokal masyarakat pulau Simeulu, Aceh, masyarakat Lahewa di pesisir utara Nias dan masyarakat di salah satu perkampungan di Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai dalam mendistribusikan dan menurunkan pengetahuan tentang tsunami perlu dipelajari lalu diadopsi pada daerah lain yang juga rawan dilanda tsunami. Interpretasi lingkungan menjadi bagian pendidikan, baik formal maupun non-formal. Sementara muatannya disesuaikan dengan objek sasaranya.

Ketika kesadaran dan pengetahuan interpretasi lingkungan menjadi kesadaran dan pengetahun umum masyarakat serta ketaatan pembangunan dengan tata ruang yang berbasis ilmiah dilakukan, maka dampak bencana akibat gempa dan tsunami, insya Allah, bisa diminimalisir tanpa harus tergantung pada teknologi “canggih” dan mahal.

Semoga.

Read Full Post »

Tahun 2003, pemerintah Indonesia mencanangkan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN atau GNRHL). Mengapa program dicanangkan? Salah satu alasan utamanya adalah besarnya laju kehilangan hutan Indonesia, yakni rata-rata dari tahun 1985-1997 mencapai 1,7 juta ha per tahun. Akibatnya, secara nasional, pada tahun 2000 sebagaimana dilaporkan INTAG terdapat 24.693.773 ha lahan kritis di dalam kawasan hutan di Indonesia.

Sebagian besar (65% atau 16.100.356 ha) lahan kritis tersebut terletak di kawasan produksi sebagai akibat praktek ekspolitasi yang tidak baik dan sisanya (35% atau 8.594.417 ha) terletak di kawasan lindung yang umumnya kibat perambahan. Bila ditambahkan lahan kritis di luar kawasan hutan, tentu luas lahan kritis secara nasional akan semakin besar. Salah satu dampak yang dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis adalah semakin sering dan parahnya bencana, seperti banjir di musim penghujan dan kekeringan yang memicu kebakaran hutan dan lahan saat musim kemarau.

Sejatinya, GERHAN ini merupakan gerakan moral secara nasional yang terencana, terpadu, dan melibatkan seluruh komponen bangsa untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di DAS-DAS prioritas. Kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan kondisi sumberdaya hutan dan lahan DAS yang rusak, sehingga berfungsi optimal dan lestari. Pertanyaannya saat ini setelah 9 tahun GERHAN dilaksanakan adalah apakah secara substasi mampu menggerakkan seluruh komponen bangsa untuk melakukan RHL dan kemudian lahan kritis mulai menuju pemulihan?

Bagaimana lahan kritis dan GERHAN di Sumatera Utara? Sumatera Utara memiliki 71 unit DAS di Sumatera Utara (lihat Peta 1), yang terdiri dari 20 DAS yang masuk dalam Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Wampu Sei Ular, dan 51 DAS yang masuk SWP DAS Asahan Barumun.

Bila berkaca pada UU No 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang mengamanatkan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) berupa kawasan hutan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, maka sangat sedikit DAS di Sumatera Utara yang memenuhi syarat minimal yang dinyatakan UU tersebut (lihat Peta).

Bagaimana kondisi hutan riil di lapangan? Pada SWP DAS Wampu Sei Ular, hanya 20% (4 dari 20 unit DAS) saja yang tutupan hutannya yang memenuhi persyaratan minimal UU No. 26 tahun 2007 tersebut, yakni DAS Batang Serangan, DAS Besitang, DAS Singkil dan DAS Wampu. Keempat unit DAS yang luas hutan memenuhi syarat minimal UU tersebut adalah DAS yang bagian hulunya termasuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). DAS Deli yang melewati Kota Medan, tutupan hutannya hanya 5,21% jauh dari syarat minimal 30% (lihat Grafik).

Meskipun Program GERHAN telah dilaksanakan di Sumatera Utara, namun belum mampu menghadang laju kerusakan hutan dan lahan, sehingga jumlah lahan kritis terus bertambah. Pada akhir tahun 2010, Ir. G. Siboro yang saat itu menjabat sebagai Kepala BP DAS Wampu Sei Ular dalam presentasinya berjudul “Quovadis Pengelolaan DAS di Sumatera Utara” antara lain menginformasikan bahwa lahan kritis di Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 1.665.908,68 ha, dan pada tahun 2010 menjadi 2.471.246,61 ha. Sehingga dalam kurun waktu 2004-2010, terdapat penambahan lahan kritis sebesar 805.337,93 ha atau dengan laju rata-rata penambahan lahan kritis di Sumatera Utara adalah 134.222,99 ha/tahun.

Kinerja rehabilitasi hutan dan lahan di Sumatera Utara adalah 85.047,77 ha selama 5  tahun atau rata-rata sebesar 17.009.55 ha setiap tahunnya. Oleh karena itu, dengan asumsi super ekstrim bahwa tidak ada penambahan lahan kritis lagi, maka dibutuhkan waktu  145 tahun untuk merehabilitasi  lahan kritis di Sumatera Utara.

Kita bersama melihat sebuah ironi, disaat Program GERHAN yang dilaksanakan untuk memulihkan sumberdaya hutan dan lahan, namun fakta yang terjadi adalah lahan kritis semakin bertambah. Inilah kondisi paradoks yang terjadi. Apakah akar permasalahan sesungguhnya?

Akar masalah kerusakan DAS

Salah satu penyebab utama mengapa luasan lahan kritis terus bertambah meskipun program GERHAN dilaksanakan adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang masih bersifat eksploitatif, seperti konversi hutan menjadi peruntukan lainnya. Sangat sering, aspek ekologis dikesampingkan dalam pengelolaan SDA, dikalahkan oleh aspek ekonomis jangka pendek. Hal ini juga terlihat pada usulan revisi RTRWP Sumatera Utara yang menurut Ir. G Siboro yang tidak berbasis DAS, namun berorientasi pada eksploitasi.

Kebijakan lain sebagai penyebab semakin bertambahnya lahan kritis adalah banyaknya perizinan penebangan hutan tanpa pertimbangan dan perlindungan hutan. Kita juga banyak melihat, kawasan resapan air, dikonversi menjadi permukiman. Dan itu patut diduga dilakukan dengan izin resmi dari pihak pemerintah yang seharusnya menegakkan aturan.

Tahukah kita, kebijakan eksploitatif yang berorientasi keuntungan ekonomi jangka pendek itu akan merugikan secara ekologis? Salah satu contoh kita ambil DAS Deli yang sebagian wilayahnya mencakup Kota Medan. Salah satu hasil penelitian skripsi mahasiswa Kehutanan USU ( Butarbutar, 2010) menunjukkan nilai ekonomi hutan sebagai pencegah banjir dengan metode kontingensi (willingness to pay) di DAS Deli adalah sekitar Rp 128 milyar setiap tahunnya. Lalu nilai ekonomi berupa biaya pengendalian banjir di DAS Deli adalah sekitar Rp 17 milyar setahun. Itu baru nilai ekonomi hutan dari sebagian kecil aspek ekologis, yakni pencegah banjir. Belum lagi kita menghitung nilai ekonomi hutan dari bagian aspek ekologis lainnya.

Sekarang mana yang lebih untung, keuntungan ekonomi dengan mengkonversi hutan yang ada menjadi penggunaan lain atau mempertahankan hutannya agar banjir dapat dicegah? Inilah salah satu faktor resiko yang belum dimasukkan sebagai pertimbangan dalam penyusunan APBD!

Jadi terlihat jelas, akar utama kerusakan DAS adalah terletak pada “behaviour/perilaku” individu, masyarakat, dan birokrasi. Permasalahan tidak melekat pada benda (hutan ataupun DAS) namun pada perilaku. Oleh karena itu, fenomena semakin bertambahnya lahan kritis dan rusaknya DAS adalah disebabkan oleh perilaku yang bermasalah dari individu, masyarakat atau birokrasi yang ada di atas DAS tersebut.

Kami patut menduga, bahwa “perilaku birokrasi” memberi andil paling besar dibanding aktor lainnya. Kenapa? Karena birokrasilah yang punya kewenangan dan kekuasaan untuk menjalankan segala aspek kegiatan yang ada di suatu wilayah DAS. Dampaknya sekarang yang kita lihat adalah, laju pertambahan lahan kritis jauh melebihi kemampuan kita dalam merehabilitasi lahan yang rusak. Sehingga dampaknya adalah DAS semakin kritis dan bencana ekologis akan semakin sering berulang, misalnya banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau.

Ragam perilaku kita yang merusak DAS

Bagaimana hasil perilaku kita di atas DAS? Pada bagian hulu DAS, yang seharusnya kita konservasi agar dapat melindungi tata air dan mencegah erosi, malah banyak dijadikan lahan budidaya. Parahnya lagi, praktek budidaya yang dilakukan justru semakin memicu meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah, sehingga memperbesar potensi banjir dan mempercepat kehilangan kesuburan tanah.

Praktek pembakaran hutan dan lahan masih menjadi “budaya”, misalnya di daerah dataran tinggi Toba. Hal ini mengurangi kapasitas hutan dan lahan dalam menyerap air ke dalam tanah, hilangnya keanekaragaman hayati. Pada akhirnya, praktek ini merugikan secara ekonomi dan ekologi bagi kehidupan kita dan lam sekitar.

Sangat susah, saat ini, kita menjumpai hulu DAS yang masih berupa hutan yang alami. Adakalanya hutan dalam kawasan lindung sekalipun, banyak yang dirambah. Pada hulu DAS yang masih dapat dipertahankan dengan baik, air jernih dan bersih terus mengalir sepanjang tahun, sehingga dapat memenuhi kebutuhan daerah di bawahnya.

Beralih ke bagian tengah suatu DAS yang umum dijadikan areal budidaya, masih sangat banyak kita temukan praktek budidaya yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah dan air. Salah satunya adalah keberadaan sempadan sungai. Keppres 32 tahun 1990 telah mengamatkan, misalnya pada pasal 16 menyatakan sempadan sungai (a) sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman, dan (b) untuk sungai di kawasan permukian berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter.

Bagaimana praktek di lapangan? Banyak areal budidaya, seperti kebun, persawahan dan permukiman yang berbatasan langsung dengan sungai tidak memiliki jalur hijau sebagai sabuk pengaman. Hal ini memicu erosi tebing sungai dan juga erosi tanah dari kegiatan budidaya langsung masuk ke sungai, sehingga sungai semakin cepat dangkal.

Selain itu, banyak lahan-lahan resapan air yang diberi izin untuk dijadikan kawasan permukiman, sehingga menjadi langganan banjir setiap tahun. Mengapa? Karena memang dibagun di tempat air “parkir”.

Pada bagian hilir DAS, umumnya berupa kawasan permukiman atau perkotaan. Banyak kota yang tidak tertata dengan baik, termasuk tanpa mempertimbangkan resiko banjir. Rasio daerah terbangun dengan daerah terbuka hijau banyak diabaikan. Banyak halaman yang justru malah dibeton! Hal ini sangat mengurangi kapasitas tanah dalam meresapkan air hujan.

Pada daerah perkotaan, seperti Medan, banyak kita temui reklamasi bantaran sungai, sehingga semakin mempersempit badan sungai. Sampah yang dibuang langsung ke sungai telah menjadi pemandangan sehari-hari, seolah-olah sungai adalah tempat pembuangan sampah. Termasuk kemudian adalah sungai sebagai tempat pembuangan limbah industri yang mungkin tanpa “kontrol” atau ada permainan antara oknum pabrik dengan oknum pengawas. Jadilah sungai kita kotor, tercemar, bau dan sebagainya. Sampai-sampai ikan sapu-sapu saja mati, seperti diberitakan beberapa waktu lalu, padahal mereka sangat tahan terhadap pencemaran. Tidak kah ini menyadarkan kita, bahwa perilaku kita sudah sangat merusak dan merugikan?

Banjir rob kini telah menjadi langganan masyarakat Belawan, hampir setiap bulan ketika bulan perdani tiba. Lebih kurang 5 hari setiap bulannya. Dulu, sangat jarang mereka terkena banjir rob, yakni banjir akibat pasang tinggi air laut. Mengapa demikian? Salah satu alasan utamanya adalah semakin rusaknya atau hilangnya hutan mangrove di daerah pasang surut pantai. Padahal lahan mangrove yang masih bagus, menurut hasil penelitian Prof Cecep Kusmana dari IPB Bogor, mampu mengikat air pasang dengan perbandingan volume 1 : 15. Oleh karena itu, sangat jarang daerah di belakang hutan mangrove yang masih baik yang mengalami banjir rob.

Potret kerusakan lingkungan akibat perilaku kita yang merusak di atas DAS telah menimbulkan kerugian baik secara ekonomi, ekologi, kesehatan serta berbagai sendi kehidupan kita. Akankah kita tetap begini terus, atau mau secara bersama-sama bergerak merubah perilaku kita menjadi lebih baik. Kita harus menempuh jalur struktural dan non-struktural, formal, non formal maupun informal, karena merubah perilaku bukan perkara mudah, namun bukan berarti tidak bisa! Mari duduk bersama dan bergerak bersama dengan rencana yang kita sepakati bersama.

***

Onrizal

Dosen dan Peneliti pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

[Harian Waspada, 5 Juni 2012, Halaman B2, Liputan Khusus]

Read Full Post »

Older Posts »