Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Flora Fauna’ Category

Kunjungan singkat di Kota Muar, Johor sambil mencatat jenis-jenis tumbuhan mangrove yang tumbuh di sekitar muara Sungai Muar. Tepi Sungai Muar bagian timur sebagian besar telah dibeton dan lantai lahan ditimbun dengan pecahan batu. Meskipun demikian, bagian sempit dari tepi sungai di bagian timur tersebut masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada bagian barat tepi Sungai Muar tidak dibeton dan masih terdapat tegakan hutan mangrove yang masih bagus. Berdasarkan pengamatan dari sebelah timur tepi sungai, tepi sebelah barat dari Sungai Muar didominasi oleh mangrove jenis Avicennia spp. Tampak juga jenis-jenis Rhizophora spp dari seberang sungai.

Pada tepi sebelah timur Sungai Muar yang berdekatan dengan Pelabuhan Jeti Emas dapat ditemukan anakan Avicennia alba, A. marina, A. officinalis, Rhizophora apiculata dan Nypa fruticans. Anakan tumbuhan mangrove ini diperkirakan berasal dari tegakan mangrove di sebelah barat sungai yang terbawa oleh pasang surut air laut. Pada bagian yang lebih hulu dekat Hotel Muar Traders  yang juga berada di tepi timur Sungai Muar dapat ditemukan pepohonan Avicennia alba dan Sonneratia caseolaris. Pada daerah ini juga banyak ditemukan anakan berbagai jenis tumbuhan mangrove yang telah disebutkan di atas, kecuali anakan Rhizophora apiculata.

Salah satu hal yang penting dicatat adalah anakan jenis Ficus benjamina dapat tumbuh pada celah tembok yang dibagun di tepi sungai. Jenis terakhir ini bukan termasuk jenis pohon mangrove.


1

2

Read Full Post »

Mangifera caesia

Mangifera caesia Jack (Anacardiaceae)

Nama lokal: Danish (binjai); Filipino (bayuno); Indonesian (palong, binglu); Javanese (binglu); Malay (sedaman,beluno); Thai (lam-yaa, bin-ya)

Nama perdagangan: machang

Jenis ini diyakini berasal dari Borneo, namun biasanya ditanam di Semenanjung Malaysia, Sumatra, Borneo dan Bali dan jarang dibudidayakan di Jawa atau negara-negara lain (WCMC 1998). Namun menurut Orwa dkk (2009), sekarang jenis ini juga dibudayakan di negara-negara selain Malaysia dan Indonesia, yaitu Papua New Guinea, Philippines, Thailand.

Jenis ini merupakan salah satu jenis mangga yang berharga. Buahnya untuk makanan atau minuman dan kayunya bisa untuk konstruksi ringan.

Saat ini, mangga jenis ini sudah mulai jarang dijumpai. Upaya penanaman, baik secara in situ maupun ex situ penting dilakukan untuk menghindakan dari kepunahan, sehingga  manfaatnya dapat dirasakan sampai masa-masa mendatang.

Ref.

Orwa C, A Mutua, Kindt R , Jamnadass R, S Anthony. 2009 Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version 4.0 (http://www.worldagroforestry.org/sites/treedbs/treedatabases.asp)

WCMC [World Conservation Monitoring Centre] (1998). Mangifera caesia. In: IUCN 2014. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.1. . Downloaded on 22 June 2014.

Photo taken by Prof Isa Ipor; at Penang Botanical Garden, 21 Juni 2014

Read Full Post »

Peltophorum pterocarpum (DC.) Backer ex K.Heyne (Caesalpiniaceae) berhabitus pohon yang aslinya berasal dari daerah tropika Asia Tenggara, dan India. Pohon ini banyak digunakan sebagai tumbuhan ornamental, terutama pada hutan kota. Pohon besar dengan tajuk yang lebar sehingga banyak digunakan sebagai pohon peneduh. Pohon ini sangat berperan dalam menjaga iklim mikro di perkotaan, sehingga tetap nyaman dan sejuk. Sebagaimana tumbuhan dalam keluarga polong-polongan, pohon jenis ini juga berperan dalam meningkatkan kesuburan lahan karena kemampuannya dalam mengikat unsur nitrogen.

Fungsi lainnya, adalah menjerab dan menyerap berbagai polutan, termasuk gas karbon dioksida. Semakin besar pohon, semakin banyak gas karbon (sebagai salah satu pemicu pemanasan global) yang dapat diserap dan kemudian disimpan didalam bagian-bagian pohon.

Mari tanam dan rawat pohon.

Picture1 Picture2

Informasi tambahan: http://www.fao.org/ag/agp/AGPC/doc/gbase/data/pf000376.htm

 

 

Read Full Post »

ou2

Dari empat primata kera besar (great apes) di dunia, orangutan merupakan satu-satunya yang hidup di benua Asia, sedangkan tiga kerabat lainnya, yakni gorila, simpanse, dan bonobo hidup di benua Afrika (Rijksen & Meijaard 1999; Buij et al. 2002). Sampai akhir masa Pleistocen, orangutan masih menyebar pada kawasan yang meliputi China bagian selatan hingga Pulau Jawa, namun saat ini hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Borneo (Bacon & Long 2001). Hasil lokakarya IUCN-Primate Spesialist Group membagi orangutan menjadi dua spesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang menempati daerah sebaran yang sempit di sebelah utara bagian utara dan selatan Danau Toba di Pulau Sumatera dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terdapat di pulau Kalimantan dan di beberapa tempat yang merupakan kantong-kantong habitat hutan Sabah dan Serawak (Groves 2001; Rijksen & Meijaard 1999; Supriatna & Wahyono 2000). Sekarang, orangutan Sumatera di dunia hanya ditemukan di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

ou1

Orangutan merupakan “umbrella species” dalam konservasi hutan hujan tropis di Indonesia, khususnya hutan Sumatera dan Kalimantan. Mengingat kondisi hutan sebagai habitat alami orangutan dan kebutuhan akan daerah jelajah yang luas serta keanekaragaman jenis flora fauna hidup bersamanya, orangutan dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi. Keberadaan dan kepadatan populasi orangutan dapat digunakan sebagai ukuran konservasi hutan hujan tropis tanpa analisis yang lebih jauh mengenai struktur keanekaragaman jenis flora dan fauna di suatu kawasan tertentu. Hal ini dapat berarti bahwa konservasi populasi orangutan liar identik dengan melakukan konservasi terhadap ekosistem hutan hujan tropis yang memiliki struktur keanekaragaman yang unik (Whitten et al. 1997; Rijksen & Meijaard 1999).

Sebagian besar makanan orangutan adalah buah-buahan. Dengan demikian, bagi kelestarian hutan, orangutan merupakan pemencar biji terbaik. Oleh karena itu, orangutan sangat berperan penting bagi regenerasi hutan tropika.

ou3

Orangutan Sumatera tinggal dengan densitas yang rendah (mulai dari nol sampai tujuh ekor per km2 di Sumatera), sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas (Departemen Kehutanan 2007). Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu habitat terpenting dan mengandung sebagian besar dari orangutan Sumatera yang masih tersisa.

OU

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dengan luas sekitar 1.094.962 ha selain merupakan rumah bagi orangutan Sumatera, juga merupakan rumah bagi berbagai satwa langka lainnya, seperti harimau Sumatera, badah Sumatera, harimau Sumatera, ratusan jenis burung dan satwa lainnya serta berbagai jenis flora yang membentuk hutan tropika yang sangat kaya. Kawasan hutan TNGL selain berfungsi sebagai habitat flora fauna langka dan penting, juga merupakan hulu dari 10 DAS utama di Aceh dan Sumatera Utara yang airnya menghidupi lebih dari 4 juta penduduk yang hidup di sekitar kawasan TNGL. Keberadaan hutan di kawasan TNGL juga menjadi benteng bagi daerah di sekitarnya dari ancaman banjir saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.  Oleh karena itu, keutuhan ekosistem TNGL sangat penting untuk dijaga, tidak saja untuk kelestarian orangutan Sumatera dan berbagai jenis flora fauna lainnya, namun lebih daripada itu, hutan TNGL adalah benteng dalam menjaga kehidupan manusia.

#save forest; #save orangutan, #save our live

Read Full Post »

Picture1menyeberang dan mendaki

Picture2orangutan Sumatera dan keahliannya 🙂

Picture3orangutan Sumatera menuju sarang diujung dahan,

senyum petugas dan peneliti

🙂

#save forest, #save orangutan, #save our life

 

Read Full Post »

Orangutans are the only great ape recorded in tropical Asia. Two species of orangutans are found, i.e. Pongo abelii in Sumatra and P. pygmeus in Borneo.

Sumatran orangutans (SOUs) are strictly distributed in the Northern Sumatra and their populations are drastically reduced and are gradually decrease. The main factors of decline are the habitat loss due to deforestation and forest degradation (1) and also a long mean inter-birth interval (2).

van Schaik et al. (3) stated that the tree availability, as food sources and nesting sites for orangutan population in the tropical forest ecosystem, has become the most influential factor on density of orangutans.

Vegetation analyses were carried out to identify tree species diversity and tree species as feeding source of Sumatran orangutan (SOU) in Batangtoru forests. The 378 tree species are recorded within 20 plots or the total area is 0.8 ha. Only 173 tree species (46%) are as feeding sources of SOU.

feeding sources

1 Rijksen, H.D. & Meijaard, E (1999) Our Vanishing Relative: Status of Wild Orangutan at the Twentieth Century. Dordrecth, Netherlands: Kluwer Academic Publisher.

2 Galdikas, B.M.F., Wood J.W. (1990) Birth spacing patterns in humans and apes. American Journal of Physical Anthropology 83:185—191

3 van Schaik, C.P., Priatna, D., Priatna, A. (1995). Population estimates and habitat preferences of orang-utans based on line transects of nests. In The Neglected Ape (eds R.D. Nadler, B.M.F. Galdikas, L.K. Sheeran & N. Rosen), pp. 129–147. New York, USA: Plenum Press.

Part of this research will be presented by Onrizal and Mashhor Mansor at the 2014 AAAS Annual Meeting on 13-17 February 2014 in Chicago, IL, USA

Read Full Post »

Jenis Baru Kelelawar Berhidung seperti Daun
Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Minggu, 26 Februari 2012 | 13:42 WIB
Vu Dinh ThongHipposideros griffini

HANOI, KOMPAS.com – Ilmuwan dari Vietnam Academy of Science and Technology di Hanoi, Vu Dinh Thong, menemukan spesies baru kelelawar yang kemudian dinamai Hipposideros griffini atau kelelawar Griffin.

Spesimen kelelawar tersebut ditemukan di Taman Nasional Chu Mom Ray di Vietnam pada tahun 2008. Kelelawar memiliki daun-daun pada hidung yang sejatinya adalah fitur yang berfungsi mendukung ekolokasi.

Awalnya, Vu Dinh sempat mengira bahwa spesies tersebut merupakan kelelawar hidung daun yang sudah dikenal. Namun, penelitian lanjut membuktikan bahwa kelelawar itu spesies yang berbeda.

“Ketika ditangkap, kelelawar yang ukurannya sama, misalnya kelelawar hidung daun, bereaksi keras. Tapi, kelelawar Griffin bereaksi cukup lembut,” ungkap Vu Dinh dikutip situs National Geographic, Jumat (24/2/2012).

Vu Dinh dan timnya menganalisis suara yang dihasilkan kelelawar Griffin dan mengambil jaringannya untuk melakukan analisis genetik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi suara yang dihasilkan kelelawar Griffin berbeda dengan kelelawar berhidung daun lainnya. Analisis genetik juga menunjukkan bahwa kelelawar Griffin ialah spesies baru.

Sejauh ini, belum banyak yang diketahui tentang kelelawar Griffin. Satwa ini diketahui juga hanya terdapat di dua taman nasional di Vietnam meskipun mungkin saja habitat lain bisa diketahui nantinya.

“Penemuan menunjukkan bahwa Vietnam adalah rumah bagi beragam kelelawar dan beberapa di antaranya belum ditemukan,” kata Vu Dinh.

Read Full Post »

Satwa Dilindungi

Orangutan, Berliner Sejak 1928

Penulis: Indira Permanasari S | Editor: Nasru Alam Aziz
Rabu, 23 Februari 2011 | 18:47 WIB

Dibaca: 1195

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Orang utan

KOMPAS.com — Berlin sebagai kota multikultur tidak hanya tecermin dalam kehidupan sehari-hari warganya, melainkan juga di Kebun Binatang Berlin, rumah bagi ribuan spesies dari berbagai negara. Salah satu penghuninya adalah hewan eksotik dari Indonesia, orangutan sumatera (Pongo abelii).

Di Kebun Binatang Berlin, Bini dan Bagus, anaknya, asyik bergelayutan di antara tali-temali di dalam kandang mereka. Orangutan menghabiskan sebagian besar waktu dalam hidupnya di atas pohon. Ketika Bini bertingkah lucu, seperti berjungkir balik, pengunjung yang menyaksikannya tersenyum. Pengunjung betah berlama-lama di kandang primata, yang tersedia kursi dan bersuhu hangat.

Bini lahir di Kebun Binatang Berlin tahun 1980. Itu berarti dari dalam kandangnya, orangutan yang aslinya hidup di hutan tropis itu ikut menjadi saksi bisu runtuhnya tembok Berlin dan perubahan yang terjadi di kota itu.

Bukan baru-baru saja orangutan menghuni Kebun Binatang Berlin. Tobias Rahde, kurator Zoologischer Garten, mengatakan, orangutan pertama lahir di Kebun Binatang Berlin tahun 1928. Setelah itu, masih ada tiga kelahiran lainnya sebelum pecah Perang Dunia II. Setelah perang usai, program pembiakan dimulai dan bayi orangutan baru lahir tahun 1963.

Saat ini, Kebun Binatang Berlin mempunyai dua kelompok orangutan sumatera. Pasangan Bini, Mano, lahir di Kebun Binatang Rotterdam tahun 1977. Mereka hidup bersama anak mereka Bagus yang lahir tahun 2002 di Kebun Binatang Berlin. Kemudian datang kelompok orangutan kedua, yakni Enche, yang lahir di Kebun Binatang Heidelberg tahun 1989 dan Njamuk yang lahir di Kebun Binatang Berlin tahun 1990. Dari keduanya lahir Satu, anak mereka, pada tahun 2002.

Tobias Rahde mengatakan, pihaknya tidak lagi mendapatkan orangutan secara langsung dari Indonesia. Mereka tidak lagi mengambil hewan dari habitat liar aslinya karena sebagian besar spesies itu terancam punah. Orangutan yang mereka miliki sekarang lahir di kebun binatang.

Sekalipun hewan-hewan tersebut lahir di Berlin, secara biologis tetap merupakan mahluk daerah tropis. Oleh karena itu, selama bulan-bulan musim dingin, hewan-hewan dari negara lain yang beriklim lebih panas disediakan pula ruangan tertutup khusus. Selama musim panas, tidak ada masalah karena cukup hangat. The Monkey House dan Tropical House sengaja dibuat dan selesai dibangun akhir tahun 1970-an. “Mereka tetap hidup dan lebih mudah beradaptasi lantaran lahir di Eropa,” ujarnya.

Selain orangutan, beberapa hewan dari Indonesia lainnya ialah tupai (Callosciurus prevostii) dan lutung (Trachypithecus auratus). Pada tahun 1984 dan awal 1990-an, mantan Presiden Soeharto pernah menghadiahkan komodo (Varanus komodoensis) kepada Aquarium Berlin, hanya saja reptil raksasa itu sudah lama mati.

Hewan nyaris punah  

Tidak hanya satwa langka orangutan yang tinggal di Kebun Binatang Berlin. Spesies yang terancam punah dapat dilihat di sini, seperti reptil tuatara (Spehenodon punctatus) asal Selandia Baru yang dapat berumur hingga lebih dari seratus tahun, penguin (Aptenodytes patagonicus), badak hitam (Diceros bicornis) dari Afrika, gajah asia (Elephas maximus), dan tentu saja knut Si Beruang Es (Ursus maritimus).

Kini di Kebun Binatang Berlin terdapat 1.028 mamalia (174 spesies), 2.310 burung (329), 435 reptil (73), 500 amfibi (52), 5.434 ikan (511), serta 6.006 hewan tanpa tulang belakang (586). Spesies tersebut berasal dari berbagai benua. Dengan semua hewan itu, Kebun Binatang Berlin yang dibuka pertama kali tahun 1 Agustus 1844 itu merupakan kebun binatang dengan jumlah spesies terbanyak dan terbesar di dunia.

Tobias mengungkapkan, Kebun Binatang Berlin bersama dengan kebun binatang lain di Eropa bekerja sama dalam berbagai program pembiakan. Kebun Bintang Berlin terlibat dalam 88 program pembiakan berbeda mulai dari tikus lemur yang sangat kecil hingga gajah asia. Khusus untuk orangutan dari Indonesia, Kebun Binatang Berlin terlibat dalam European Endangered Species Programme (EEP). Bayi-bayi hasil pembiakan yang lahir sebagian ditransfer ke berbagai kebun binatang lain di seluruh dunia.

(Indira Permanasari, wartawan Harian Kompas peserta Program Nahaufnahme-Pertukaran Jurnalis, Goethe Institut)

Read Full Post »

Tidak Gampang Beruang Madu Bereproduksi

Penulis: Lukas Adi Prasetya | Editor: I Made Asdhiana
Rabu, 23 Februari 2011 | 22:56 WIB

Dibaca: 654

KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA Beruang madu di kawasan wisata pendidikan lingkungan hidup, Balikpapan, Kalimantan Timur.

BALIKPAPAN, KOMPAS.com – Beruang madu (Helarctos malayanus), keberadaannya terus menyusut. Namun bukan perkara gampang menambah jumlahnya. Tak hanya karena luas habitatnya berkurang akibat penambangan batubara di Kalimantan Timur, namun satwa ini pun juga seperti enggan bereproduksi jika luas wilayahnya terus menyusut.

“Ada sifat beruang madu yang unik, yakni tidak atau menahan untuk punya anak jika merasa anaknya nanti tak mendapat luas area jelajah yang sesuai. Keadaan ini yang sepertinya terjadi sekarang,” ujar Caecilia Nurimpi Kanasari, Kepala Divisi Pendidikan Lingkungan Hidup di Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH), Balikpapan, Kaltim, Rabu (23/2/2011).

Beruang madu ditetapkan pemerintah tahun 1973 sebagai salah satu hewan yang dilindungi. Saat ini diperkirakan hanya terdapat 50-an beruang madu di alam liar, yakni Hutan Lindung Sungai Wain, dan lima yang ditempatkan dalam KWPLH. KWPLH adalah salah satu unit pengelola di bawah Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Wain dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Manggar. KWPLH terletak di Jalan Soekarno Hatta km 23 (jalan penghubung Samarinda-Balikpapan).

Beruang madu adalah yang terkecil dari delapan jenis beruang di dunia. Pada Senin (21/2/2011) lalu, beruang diperingati secara internasional. Di Indonesia, bertempat di Balikpapan.

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, populasi beruang madu di dunia berdasarkan hilangnya habitat mereka, diperkirakan 30 persen. Karena itulah, gerakan penyelamatan satwa ini harus digencarkan.

“Hewan ini sudah tak bisa menyelamatkan habitat mereka sendiri,” ujar Caecilia yang juga Ketua Panitia Peringatan Hari Beruang se-Dunia di Balikpapan.

Di Hutan Lindung Sungai Wain (Kaltim) yang seluas 15.000 hektar, diperkirakan dihuni 50 beruang madu. Bagi beruang dengan jumlah seperti itu, memiliki daerah jelajah 15.000 hektar pun, bisa dibilang kurang. Sebab, seekor beruang jantan setidaknya menjelajahi hingga 25 km persegi. Beruang betina, mungkin separuhnya. Apalagi daerah sekitar hutan lindung sudah ada penambangan batu bara.

Luasan habitat yang berkurang adalah persoalan serius. Namun ancaman dari pemburu liar pun tak bisa dibaikan. Karena itu, menurut Caecilia, patroli di hutan lindung tersebut, juga pemantauan dari para pemerhati beruang wajib dilakukan rutin. “Jangan sampai beruang yang menjadi maskot Balipapan ini berkurang jumlahnya,” katanya.

Selain 50-an beruang di alam liar, terdapat 5 beruang ditempatkan di Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH), Balikpapan Utara. Beruang-beruang hasil sitaan dari kolektor tahun 2006 lalu ini, diberi tempat jelajah 1,3 hektar. Sebelum diselamatkan dan ditempatkan di KWPLH, kondisi mereka mengenaskan. Salah satu beruang benama Haris, mata kanannya buta akibat pukulan majikannya dulu. Benny, beruang lain, kuku dan taringnya dipotong.

“Sempitnya area jelajah bagi lima beruang (dua betina, tiga jantan) di KWPLH ditengarai juga bisa menjadikan beruang madu tersebut belum saling tertarik untuk menghasilkan keturunan. Beruang butuh ruang jelajah yang sangat luas,” kata Caecilia.

Beruang madu adalah beruang terkecil dari delapan jenis beruang di dunia. Berat hewan yang berbulu hitam dan tebal ini hanya 30-65 kg. Beruang ini lebih pendek ketimbang tinggi orang dewasa. Setiap beruang madu memiliki tanda unik yakni warna kuning atau oranye, membentuk seperti huruf V, U, atau melingkar.

Hutan hujan tropis adalah habitatnya. Makanan pokok beruang madu yakni serangga, namun ia juga menyukai buah buahan dan madu. Saat makan buah, beruang madu memakan bijinya. Setelah melewati proses pencernaan, bijian mulai bertunas. Itulah sebabnya hewan pemanjat ulung ini berperan penting dalam penyebaran biji di hutan.

Read Full Post »

 

Edan, Mentok Rimba Cuma Tinggal 75 Ekor!
Jumat, 23 April 2010 | 10:38 WIB

LAMPUNG, KOMPAS.com – Populasi bebek hutan (cairina scutulata) di Taman Nasional Way Kambas atau TNWK, Lampung Timur, terancam punah, akibat semakin menyempitnya lokasi habitat satwa dilindungi itu.

“Berdasarkan data terakhir tahun 2001, jumlah bebek hutan di seluruh kawasan TNWK yang terpantau hanya 75 ekor. Jumlah satwa itu kini semakin berkurang,” kata Kepala Bidang Konservasi Jenis TNWK, Dicky Tri Sutanto, di Balai TNWK, Lampung Timur, Jumat (23/4/2010).

Menurutnya, satwa bebek hutan atau masyarakat menyebut mentok rimba itu kini dalam status “terancam punah” sebab keberadaanya semakin sulit ditemui.

“Baru-baru ini kami bersama tim melakukan monitoring di seluruh kawasan TNWK. Namun, jumlah bebek hutan yang berhasil ditemui hanya sembilan ekor,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sebenarnya populasi bebek hutan salah satunya di TNWK Lampung Timur merupakan populasi terbesar di dunia, dengan jumlah keseluruhan mencapai 200-an ekor.

“Jika tidak segera ditangani serius, bisa jadi generasi ke depan tidak lagi bisa menemui bebek hutan yang termasuk unggas langka itu,” paparnya.

Dia menambahkan, kelompok peduli bebek hutan yang tergabung dalam “Kelompok Sahabat Burung Way Kambas”, tahun 2010 telah melakukan empat kali monitoring populasi dan ancaman terbesar satwa itu, yakni adanya aktivitas ilegal seperti perburuan burung dan pemancingan serta kerusakan habitat akibat kebakaran hutan.

“Lokasi rawa yang biasa menjadi habitat bebek hutan itu kini juga semakin menyempit, sehingga satwa itu terkadang ke luar kawasan hingga ke lahan pertanian, yang pada akhirnya ditangkap masyarakat sekitar,” ungkapnya.

Manajer Lembaga Swadaya Masyarakat Wildlife Conservation Society (LSM WCS) Doni Gunariadi, yang saat dimintai konfirmasi berada di Bogor, membenarkan, populasi bebek hutan di TNWK Lampung Timur saat ini jumlahnya tidak lebih dari ratusan ekor, padahal sejak 1985 saat pusat latihan gajah (PLG) TNWK diresmikan, jumlahnya bisa mencapai ribuan ekor.

Dia menjelaskan, bebek hutan itu merupakan hewan yang sangat dilindungi, sebab keberadaanya semakin langka dan tidak lagi mudah ditemui. Biasanya ketika survei hewan tersebut bisa ditemui secara berkelompok sekitar 50-100 ekor dalam satu lokasi rawa.

Namun, ketika survei yang dilakukan bersama tiga peneliti dari Amerika serikat tahun 2009 lalu, hanya bisa mendapati tiga ekor dalam satu lokasi rawa.

“Jumlah bebek hutan dalam satu kelompok saja sudah berkurang, apalagi ditambah habitat berawa yang juga berkurang,” ujarnya.

Dia berharap kepada berbagai pihak, agar peduli dengan satwa bebek hutan tersebut, dengan tidak melakukan perburuan liar serta menjaga habitat aslinya. Sehingga, satwa langka yang menjadi kebanggan masyarakat Lampung itu bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.

Populasi bebek hutan paling banyak bisa ditemui di TNWK Lampung Timur terutama di lokasi Way Gajah saat musim kemarau, sebab pada musim itu air rawa menyempit dan bebek rawa mudah berkumpul dalam satu lokasi.

Selain itu, saat awal musim penghujan biasa memasuki musim kawin dan pada pertengahan musim itu adalah masa bertelur bagi induk betina. Sehingga pada bulan sekitar Maret sampai April, telur bebek hutan bisa menetas.

Sumber: Kompas – http://nasional.kompas.com/read/2010/04/23/10385283/Edan..Mentok.Rimba.Cuma.Tinggal.75.Ekor-5

Read Full Post »

Older Posts »