Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Expedition’ Category

Gambir

Gambir. Ya, gambir biasa digunakan untuk menemani makan sirih. Tradisi yang sudah sangat lama, meskipun kini mulai berkurang ya?

Gambir yang dimaksud dihasilkan dari tumbuhan gambir (Uncaria gambir (Hunter) Roxb.) yang merupakan tumbuhan perdu. Gambir yang digunakan untuk menemani makan sirih tersebut sebenarnya dalah getahnya yang telah kering yang sebelumnya diesktrak melalui perebusan.

 

Petani gambir di Desa Bongkaras di tepi Hutan Lindung Batuardan, Dairi menceritakan bahwa dalam setahun, tanaman gambir dapat dipanen sebanyak 3 s.d. 4 kali, atau sekali dalam 3 atau 4 bulan. Setiap panen saat ini dapat menghasilkan sekitar Rp. 12.500.000 per hektar dari gambir yang telah dikeringkan. Hasil yang cukup lumayan, bukan?

Persoalannya adalah tanaman gambir biasanya ditanam tanpa pohon peneduh, dan biasanya untuk perluasan kebun terlebih dahulu dengan menebang hutan alias mengkonversi hutan menjadi kebun gambir. Oleh karena tanaman ini ditanam di dataran tinggi, konversi hutan pada daerah demikian dapat memicu terganggunya fungsi hutan dalam pengaturan tata air dan pencegahan erosi dan tanah longsong. Sehingga perlu terobosan untuk mengurangi dampak negatif dari budidaya gambir selama ini. Ada ide atau solusi?

Picture1

Tanaman Gambir

Picture2Getah gambir yang sedang dikeringkan setelah diekstrak

Read Full Post »

Sungai Batu terletak di bagian selatan Pulau Pinang, Malaysia. Lokasi ini hanya sekitar 2 km dari Bandara Internasional Penang.

Survey singkat pada tanggal 8 Juni 2014 menemukan 10 jenis tumbuhan mangrove, dimana 8 jenis merupakan jenis mangrove sejati dan 2 jenis lainnya tergolong jenis mangrove ikutan.

species

Catatan: +++++ = banyak/dominan; +++ = sedang; + = jarang

 

Picture1 Picture2 Picture3

Read Full Post »

Letter from Peter C Boyce

 

Message: 1
Date: Sun, 15 Apr 2012 12:40:32 +0800
From: Peter Boyce <phymatarum@googlemail.com>
To: <fm-info@lists.floramalesiana.org>
Subject: [fm-info] new URL for our Flickr site
Message-ID: <001001cd1ac1$e6debde0$b49c39a0$@com>
Content-Type: text/plain; charset=”us-ascii”

Dear Friends & Colleagues,

Please take note that our Flickr site has a new url:

http://www.flickr.com/photos/indomalayan_aroids/

In addition, we are also now experimenting (very tentatively) with a blog:

http://indomalayan-aroids.blogspot.com/

Best wishes

Peter

 

 

Read Full Post »

Ekspedisi Genografi Indonesia (EGI) 2009 Sumatera Utara dimotori oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nsional (Bakosurtanal) dengan melibatkan stakeholders di Sumatera Utara. Kegiatan ini antara lain ditujukan untuk mengenal dan menyebar luaskan kekayaan suatu daerah: tak kenal maka tak sayang, sebagai salah satu kata kunci dari kegiatan ini.

Alhamdulillah saya menjadi bagian kegiatan EGI 2009 Sumatera Utara dan mendapat bagian untuk menulis bidang dampak. Berikut 3 tulisan saya pada jurnal EGI 2009 Sumatera Utara:

  1. Onrizal. Diambang kepunahan: sejuta asa menyelamatkan kekayaan dunia di Sumatera Utara. Jurnal Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Sumatera Utara: 84-87
  2. Onrizal. Refleksi 4,5 tahun pasca tsunami: kearifan masyarakat Lahewa, Nias – menyelamatkan lingkungan, menyelamatkan kehidupan manusia. Jurnal Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Sumatera Utara: 90-92
  3. Onrizal. Lubuk larangan yang mengalirkan kehidupan. Jurnal Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Sumatera Utara: 101-103

Artikel lengkap dapat diperoleh di EGI-092-Dampak atau http://www.egi-bakosurtanal.com/download/doc_details/26-dampak.html)

Selamat membaca dan berkontribusi.

Wassalam

Onrizal

Read Full Post »

http://sains.kompas.com/read/2010/05/17/22333882/Katak.Pinokio.Spesies.Baru.dari.Papua.-3#

Katak “Pinokio” Spesies Baru dari Papua
Senin, 17 Mei 2010 | 22:33 WIB
Tim Laman/National Geographic
Katak pohon jenis baru (Litoria sp. nov.) yang ditemukan di Papua belum lama ini unik dengan bagian tubuh memanjang di mukanya sehingga seperti hidung Pinokio.

JAKARTA, KOMPAS.com – Sebuah ekspedisi ilmiah menemukan sejumlah spesies baru di Pegunungan Foja, di pulau Guinea Baru, Provinsi Papua. Salah satunya jenis katak baru yang pantas disebut katak Pinokio karena memiliki bagian tubuh memanjang di mukanya.

Spesies baru itu yakni katak (Litoria sp. nov.) yang diamati memiliki benjolan panjang pada hidung seperti Pinokio yang menunjuk ke atas bila ada ajakan dari jenis jantan serta mengempis dan mengarah ke bawah bila aktifitasnya berkurang. Katak ini ditemukan herpetologis, Paulus Oliver, secara kebetulan.

Kepala Komunikasi Conservation International (CI) Elshinta S Marsden di Jakarta, Senin (17/5/2010) malam mengatakan katak tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak spesies baru yang ditemukan selama Conservation International’s Rapid Assessment Program (RAP) pada tahun 2008. Ekspedisi ini merupakan kolaborasi ilmuwan dari dalam dan luar negeri termasuk para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Selain katak Pinokio, spesies baru yang ditemukan lainnya antara lain tikus besar berbulu, tokek bermata kuning berjari bengkok, merpati kaisar, walabi kerdil (Dorcopsulus sp. nov.) anggota kangguru terkecil di dunia, serta seekor kangguru pohon berjubah emas yang sudah sangat langka penampakannya dan sangat terancam keberadaannya karena perburuan dari bagian wilayah Guinea Baru lainnya.

Kejutan terbesar dari ekspedisi itu datang ketika seorang ornitologis, Neville Kemp, melihat sepasang merpati kaisar yang baru ditemukan (Ducula sp. nov.) dengan bulu-bulu yang terlihat berkarat, agak putih, dan abu-abu. Temuan lainnya yang direkam selama survei RAP itu, antara lain kelelawar kembang baru (Syconycteris sp. nov) yang memakan sari bunga dari hutan hujan, seekor tikus pohon kecil (Pogonomys sp. nov.), seekor kupu-kupu hitam dan putih (Ideopsis fojana) memiliki hubungan dengan jenis kupu-kupu raja pada umumnya, dan semak belukar berbunga yang baru (Ardisia hymenandroides).

“Untuk menentukan temuan tersebut betul-betul terbaru perlu diteliti dulu famili dan habitatnya. Hal itu butuh waktu bertahun-tahun,” katanya. Kepastian penemuan itu diungkapkan dalam rangka menandai peringatan Hari Keanekaan Ragam Hayati se-Dunia (International Day for Biological Diversity) pada 22 Mei.

Pada ekspedisi RAP yang didukung The National Geographic Society dan Smithsonian Institution ini, para ahli biologi bertahan menghadapi hujan badai yang lebat dan banjir bandang yang mengancam sambil terus melacak spesies-spesies, mulai dari bukit rendah di Desa Kwerba sampai ke puncaknya pada kisaran 2.200 meter di atas muka laut.

Disebutkan juga, Wakil Presiden Regional CI Indonesia Jatna Supriatna PhD, mengatakan temuan ini dapat menunjukkan berapa banyak bentuk spesies unik yang hanya hidup di hutan-hutan pegunungan Papua, dan menyadarkan dunia betapa hutan-hutan ini harus dilestarikan.

“Para peneliti LIPI merasa sangat bersyukur turut terlibat dalam pengungkapan keanekaan ragam hayati kawasan Pegunungan Foja, Mamberamo. Adanya kerja sama penelitian ini jelas mendukung program-program konservasi pada kawasan yang memiliki biodiversitas sangat tinggi dan termasuk dalam daftar perlindungan Undang-Undang RI,” kata Ketua Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Dr. Hari Sutrisno.

Sedangkan Gubernur Papua, Barnabas Suebu mengingatkan, pihaknya sepakat dan sangat mendukung agar wilayah-wilayah ber-biodiversitas sangat tinggi di Provinsi Papua dipertahankan, karena banyak spesies endemik di wilayah ini yang masih terisolasi, dan tidak terdapat di belahan dunia lain.

Read Full Post »

Sepertiga akhir bulan April 2009, saya bersama tim (alumni kehutanan USU, dan mahasiswa tingkat akhir Departemen Kehutanan USU) beserta staf BKSDA Seksi Singkil dan masyarakat lokal melakukan survey di Suaka Margasatwa Rawa Singkil (SMRS). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui simpanan karbon baik pada tegakan hutan, maupun dalam gambut yang hampir menutupi 95% suaka margasatwa tersebut. Selain hutan rawa gambut, pada SMRS juga dijumpai hutan mangrove, rawa nipah, dan hutan pantai.

Berbagai hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa hutan rawa gambut di SMRS merupakan habitat bagi berbagai satwa langka yang hampir punah, seperti orangutan Sumatera, harimau Sumatera dan gajah Sumatera serta berbagai satwa liar lainnya. Hutan rawa gambut tersebut juga menyediakan berbagai jenis ikan yang dapat dikonsumsi masyarakat. Selain itu, hutan pada SMRS juga menjadi pelindung dari angin badai, dan bencana tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 lalu.

1 BKSDA Office at SingkilSebelum memasuki kawasan SMRS, peneliti harus mendapatkan izin dan BKSDA setempat dan selama di lapangan didampingi oleh staf BKSDA. Untuk memasuki kawasan SMRS dapat melalui Singkil, Rundeng maupun Trumon.

 

 

 

2 SMRS from Sungai Alas

Sebagian besar kawasan SMRS berbatasan dengan Sungai Alas di bagian Selatan dan Timur dan dengan Sumadera Indonesia di bagian Barat. Pemandangan bentang alam yang sangat indah tersaji saat menyusuri Sungai Alas dari pelabuhan boat di Kilangan, Singkil.

4 Using boat in SMRS

Boat merupakan alat transportasi utama untuk menjelajahi SMRS mengingat hampir sebagian besar kawasannya berupa hutan rawa gambut, dan hutan mangrove serta hutan pantai yang langsung berbatasan dengan lautan lepas. 

5 Author at Coastal Forest within SMRS

Hutan pantai di bagian barat kawasan berperan penting dalam melindungi kawasan di belakangnya dari angin badai dari laut dan gelombang tsunami, seperti yang terjadi pada tsunami 26 Desember 2004 akibat gempa besar yang berpusat dekat Pulau Seumeulu, dan 28 Maret 2005 akibat gempa besar yang berpusat dekat Pulau Nias.

6 Local community

Sebagian kecil masyarakat lokal Kuala Baru, Singkil mengumpulkan kayu bakar dari pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia) yang tumbang atau sudah tua di lahan milik mereka di luar kawasan SMRS. Perkampungan Kuala Baru terletak di bagian barat SMRS dan langsung berbatasan dengan Samudra Indonesia.

7 Measuring the tree's dbh

8 Measuring the mangrove tree's dbh

Pengukuran diameter pohon merupakan salah satu kegiatan untuk menduga simpanan karbon dalam tegakan hutan dengan menggunakan persamaan alometrik.

 

14 Sampling the peat soil

15 Soil sampling by ring sampler

 Pengukuran kedalaman gambut dengan bor gambut dan pengambilan contoh tanah dengan ring sampler merupakan salah satu kegiatan lapangan untuk pendugaan karbon yang tersimpan dalam tanah. 

10 Survey team

12 Bakung-bakung way

 Sebagian besar sungai-sungai di dalam hutan rawa gambut SMRS hampir ditutupi oleh tumbuhan air yang disebut dengan bakung-bakung. Sungai tersebut sebelum memiliki lebar antara 50-100 m dengan kedalaman mencapai 10 m.  Berbagai jenis ikan hidup di bawah tumbuhan bakung-bakung tersebut.

11 Forest stand die due to eartquake

17 Flooding due to soil subsidence as impact of eartquake

Akibat gempa besar di akhir tahun 2004 dan akhir bulan Maret 2005, tanah di bagian barat SMRS turus sekitar 1,0-2,0 m. Hal ini menyebabkan seringnya pasang air laut merendam permukiman penduduk. Sebelum kejadian gempa tersebut, rumah-rumah tersebut umumnya minimal berada  1 m dari air pasang tertinggi. Selain itu, turunnya tanah tersebut diduga memicu kematian massal pohon brembang (Sonneratia caseolaris) dan beberapa jenis lainnya di hutan mangrove dan hutan rawa gambut sebagai akibat lanjutan dari semakin lama, semakin sering dan semakin tingginya air pasang menerpa lahan tersebut.

Salah satu artikel berjudul The Earthquake and Tsunami Impact on Coastal Forests, Mangrove Forests and Nipah Swamp Vegetation in Aceh Singkil, Northern Sumatra, Indonesia akan penulis sampaikan pada the South China Sea Tsunami Workshop 3 (SCSTW3). Workshop tsb akan berlangsung pada 03-05 November 2009 at Eureka Complex, Minden Main Campus, USM Penang, Malaysia.

18 Forest types in SMRS as ecosystem protection, carbon pool and habitat of wildlifes

Berbagai tipe hutan di SMRS berperan penting dalam menyediakan jasa lingkungan, misalnya gudang simpanan karbon yang penting dalam upaya mencegah pemanasan global, melindungi daerah di belakangnya dari terjangan angin badai dan gelombang tsunami, habitat bagi berbagai satwa liar yang hampir punah, pencegah banjir dan sekalian menjaga ketersediaan air tanah serta mencegah intrusi air laut. Lahan basah berupa rawa gambut dan hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat lokal. Selian itu, jatuhan serasah hutan rawa gambut dan hutan mangrove akan selalu mengalirkan berbagai bahan makanan bagi perikanan pesisir pantai.

Save the tropical peat swamp forests in Rawa Singkil Sanctuary.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Conservation International Indonesia, khususnya kpd Ykh Ibu Saodah, Bung Farid dan Bung Erwin atas diskusi dan kerjasamanya serta dukungan dana dalam survey ini. Terima kasih yang besar kami sampaikan kpd Bpk Nurdin, M.Si atas kerjasamanya, kpd ibu Dr Deni atas diskusi dan bantuan dalam analisis tanah. Terima kasih juga kami sampaikan kepada pimpinan dan staf BKSDA Seksi Singkil atas izin dan pendampingan selama di lapangan. Selanjutnya kepada mahasiswa tingkat akhir dan alumni kehutanan USU, seperti Sdr Sanusi, Sdr Ari, Sdr Zainal dan Sdr Stanly atas bantuan dalam survey lapangan. Terima kasih yang tinggi kami sampaikan kepada yang kami hormati Panglima Hutan wilayah Singkil sampai Buluh Seuma, Bapak Rusli atas bantuan dan bimbingan bagi tim survey selama survey di lapangan kami sampaikan terima kasih. Terima kasih juga kami sampaikan kepada masyarakat di sekitar SMRS, nakhkoda boat: bapak Mahmud dan bapak Haji atas bantuan dalam pelaksanaan survey di lapangan.

Onrizal

Read Full Post »

LUBUK LARANGAN YANG MENGHIDUPKAN

Onrizal

Peneliti Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU

Staf Pengajar Departemen Kehutanan FP USU

 

Umumnya kita manusia ingin selalu hidup bebas. Tidak ada yang ingin ada larangan apalagi apa-apa tidak boleh. Larangan dianggap membatasi dan merugikan! Bukankah demikian?

Namun bagi masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina), terutama yang hidup di pinggiran sungai, misalnya Batang Gadis dan Batang Toru atau sungai lainnya, kata “larangan” sudah menjadi bagian kehidupan mereka sehari-hari. Jika pembaca sempat mengunjungi atau melewati daerah aliran sungai tersebut, kita akan dengan mudah menjumpai papan pengumuman tentang lubuk larangan.

Lalu, apa yang dimaksud dengan lubuk larangan? Lubuk larangan yang dipraktekan di daerah Tapsel dan Madina adalah bagian tertentu dari sungai dengan panjang tertentu dengan larangan mengambil ikan dengan cara apapun bagi siapa saja, kecuali pada waktu tertentu. Daerah yang dilarang tersebut disebut dengan “lubuk larangan”. Bagi yang melanggar akan dikenakan denda berupa sejumlah uang tertentu (Onrizal, 2007).

……………………..

Lubuk larangan hanyalah salah satu contoh kearifan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Mereka memberikan contoh nyata dalam pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan dilakukan secara mandiri. Mereka menjaga sungai yang ada di hulu, sehingga masyarakat di hilir tidak terkurangi haknya untuk mendapatkan sumber kehidupan dari sungai yang airnya terus mengalir. Mereka melakukan hal tersebut bukan karena pengarahan orang ‘terpelajar’ dari kota, tetapi kedekatan mereka dengan alam menjadikan mereka arif dan bijak dalam mengelola sumberdaya alam, sehingga tahu apa yang harus dilakukan untuk kehidupan mereka dan apa yang harus dihindari yang bisa membahayakan atau merugikan (Onrizal, 2007).

Konsep “larangan” yang ada dalam khasanah budaya Mandailing dan Angkola dalam hal ini adalah “lubuk larangan” telah ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa di sepanjang aliran sungai di wilayah Tapsel dan Madina (Perbatakusuma, 2007). Alam telah menjadi guru bagi mereka untuk berbuat dan berperilaku. Saatnya bagi kita untuk mengambil pelajaran dari mereka.

Selengkapnya setelah Buku EGI 2009 Sumatera Utara terbit

Read Full Post »

Diambang Kepunahan: Sejuta asa menyelamatkan kekayaan dunia di Sumatera Utara

Onrizal

Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Universitas Sumatera Utara

Siapa yang tak kenal harimau si Raja Hutan? Rasanya sulit mencari orang Indonesia, apalagi orang Sumatera yang tak kenal si Belang sang penguasa hutan Sumatera. Umumnya, sejak kecil kita sudah diceritakan dengan kegagahan harimau sang raja hutan. Namun kini, menurut IUCN Red List (2003) Sang Raja Hutan Sumatera menghadapi ancaman kepunahan dengan status Critically Endangered (status kritis yang merupakan kategori ancaman kepunahan tertinggi), seolah-olah kegagahan Sang Raja Hutan Sumatera tidak berarti apa-apa lagi untuk mempertahankan keberadaannya serta keturunannya.

Pulau Sumatera adalah bagian penting Hotspot biodiversitas dataran Sunda. Hotspot biodiversiti berarti kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan penting. Satu dari 34 wilayah di dunia yang memiliki tingkat biodiversitas dan endemisitas (penyebaran yang terbatas) yang luar biasa, namun mendapatkan tingkat keterancaman yang sangat tinggi. Berbagai kawasan hutan yang tersisa di Sumatera Utara telah dipetakan sebagai pusat-pusat keanekaragaman hayati penting yang tercakup dalam Daerah Prioritas Konservasi: Kawasan Kunci Biodiversitas (Priority Sites for Conservation in Sumatra: Key Biodiversity Areas) (Conservation International-Indonesia dkk, 2007).

Harimau Sumatera hanyalah salah satu satwa langka kebanggaan Nasional yang hidup alami di hutan-hutan Sumatera. Masih banyak lagi satwa maupun tumbuhan yang terancam punah menghuni Pulau Sumatera, termasuh hutan-hutan di Sumatera Utara. Menurut Concervation International-Indonesia dkk (2007) di Pulau Sumatera terdapat 248 jenis flora fauna (tumbuhan dan hewan) yang memiliki status terancam secara global pada tahun 2006 berdasarkan Daftar Merah (Red List) Jenis Terancam yang dipublikasikan oleh IUCN.

Sebagai bagian perjalanan mengungkap kekayaan hayati melalui Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Sumatera Utara dalam tulisan ini, penulis akan mengungkapkan kondisi beberapa satwa langka seperti harimau Sumatera, orangutan Sumatera dan gajah Sumatera. Satwa langka tersebut merupakan komponen kunci dalam pelestarian biodiversitas yang tidak hanya bernilai secara nasional namun juga menjadi perhatian dan isu internasional.

Si Raja Hutan Sumatera: akankah tinggal cerita?

Orangutan Sumatera: Satwa Endemik Sumatera yang Terancam Punah

Gajah Sumatera: Mamalia Besar yang Semakin Langka

Upaya Penyelamatan

Artikel lengkap setelah Buku EGI 2009 Sumatera Utara terbit

Read Full Post »

REFLEKSI 4,5 TAHUN PASCA TSUNAMI-KEARIFAN MASYARAKAT LAHEWA, NIAS:

MENYELAMATKAN LINGKUNGAN, MENYELAMATKAN KEHIDUPAN MANUSIA

 

 

Oleh: Onrizal

Peneliti pada Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara

Staf Pengajar bidang Ekologi Hutan pada Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

E-mail: onrizal03@yahoo.com

 

 

Empat setengah tahun lalu, tepatnya hari Minggu tanggal 26 Desember 2004, masyarakat dunia berduka. Saat gempa berkekuatan 8,9 skala Richter yang berpusat di Samudra Hindia, sebelah barat Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)diikuti gelombang tsunami dahsyat dengan ketinggian mencapai 30 m melanda sebagian besar wilayah Sumatera bagian utara dan belasan negara lainnya, mulai dari Asia Tenggara sampai pantai timur Afrika. Bencana dahsyat itu menyisakan keprihatinan dan duka yang mendalam. Banyak orang hampir tak percaya dengan apa yang terjadi! BAPPENAS (2005) dan GCRMN (2006) menyatakan bahwa hanya dalam hitungan menit, ratusan ribu orang tewas dan hilang, ribuan rumah, gedung, perkantoran, rumah sakit, serta sarana dan prasarana publik ikut ditelan gelombang laut maha dahsyat dan mengerikan itu. Tentu, dan saya yakin, kita semua belum lupa akan peristiwa tersebut.

Namun diantara kisah-kisah yang memilukan dan menyesakkan dada tersebut, terselip kisah-kisah masyarakat dan perkampungan yang selamat dari tsunami. Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil dari apa yang mereka pelajari dan alami untuk merajut hidup kita yang lebih baik di masa datang.

Mengapa perkampungan mereka selamat dari tsunami?

Permukiman penduduk di Desa Moawo dan Desa Pasar Lahewa berada pada daerah pasang surut. Hanya saja perumahan penduduk tersebut tidak langsung berhadapan dengan laut, namun antara permukiman dengan laut berdasarkan pengukuran penulis terdapat hutan mangrove dengan lebar sekitar 200 – 300 m dan kerapatan pohon berdiameter 2-10 cm yang sangat lebat (lebih dari 17.000 ind/ha). Meskipun pohon-pohon mangrove tersebut diameternya masih relatif kecil, namun tegakannya kompak dan tersebar secara merata dengan ketinggian pohon mencapai 9 meter.

Menurut penduduk di pantai utara Nias, hutan mangrove yang ada saat tsunami melanda berumur sekitar 10 tahun. Sebab sebelum tahun 1995, hutan mangrove di daerah tersebut sudah rusak akibat penebangan. Hal ini kemudian menyebabkan perkampungan mereka terancam abrasi pantai dan tangkapan ikan mereka jauh berkurang. Kondisi ini menyadarkan mereka dan kemudian masyarakat desa sepakat untuk tidak menebang pohon mangrove yang berada di pinggir laut.

Saat tsunami datang di pantai utara Nias, gelombang tsunami tidak langsung menghantam perumahan penduduk, namun terlebih dahulu melewati hutan mangrove. Setelah melewati hutan mangrove lebat tersebut, arus tsunami menjadi tenang sesampai di permukiman. Fenomena di pantai utara Nias menggambarkan bahwa banjir akibat gelombang tsunami yang menggenangi rumah-rumah penduduk setinggi 2 – 3 m tidak menyebabkan kerusakan yang berarti pada permukiman tersebut karena airnya sudah tenang karena diredam oleh hutan mangrove. Seperti telah ditulis sebelumnya, di Desa Moawo hanya terdapat 1 (satu) rumah yang hancur karena rumah tersebut berada persis di bibir sungai yang tegak lurus terhadap datangnya air laut, sehingga arus tsunami di pinggir sungai tersebut tidak terhalang oleh hutan mangrove. Perumahan penduduk di Desa Pasar Lahewa tidak ada yang mengalami rusak sedang dan berat.

Bagaimana mereka selamat dari tsunami? ALAM JADI GURU

Kapan dan dimana ajal menjemput, kita tidak akan pernah tahu. Namun, bagaimana mengenali bahaya yang bisa mengancam nyawanya dan bagaimana menghadapinya, manusia diberikan peluang untuk itu.

Saat gempa besar di Minggu pagi 26 Desemeber 2004, kemudian diikuti dengan surutnya air laut secara tiba-tiba, seketika penduduk di pesisir pantai Lahewa, seperti di Desa Moawo dan Desa Pasar Lahewa saling bersahutan “awas galoro, galoro, galoro, …..” dan kemudian secara cepat mereka mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Orang-orang sakit ditandu, anak-anak digendong. Rumah-rumah merekapun banyak yang tidak sempat ditutup.

Galoro merupakan salah satu kata dalam bahasa Nias yang berarti tsunami. Pengetahuan turun-temurun yang dimiliki masyarakat di pantai utara Nias sejak awal tahun 1900-an, seperti halnya pengetahuan yang sama pada masyarakat pulau Simeulue telah mengajarkan meraka bahwa apabila terjadi gempa, kemudian diikuti oleh air laut yang surut secara cepat, maka hal itu pertanda galoro (tsunami) akan datang. Tidak ada hal yang harus dilakukan, kecuali segera mencari tempat yang lebih tinggi supaya aman dari tsunami.

Seperti kata pepatah orang minang “alam takambang jadi guru” yang lebih kurang artinya adalah alam semesta dengan segala kejadian yang menyertainya merupakan sumber pelajaran dan pengetahuan (guru). Demikianlah, masyarakat di pesisir pantai utara Nias selamat dari tsunami karena ketika tsunami datang dan merendam rumah dan perkampungan, mereka sudah berada di daerah yang tinggi dan tidak terjangkau oleh tsunami. Tidak ada seorangpun penduduk psisir pantai di Kecamatan Lahewa yang menjadi korban tsunami!

Artikel lengkap setelah buku EGI 2009 Sumatera Utara terbit.

Read Full Post »

Pada tanggal 20-29 Mei 2009, saya mengikuti Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Sumatera Utara (EGI 2009 Sumatera Utara). Kegiatan ini diinisiasi oleh Badan Koordinasi Survey dan Perpetaan Nasional (BAKOSURTANAL), dan merupakan kegiatan EGI ke-enam. Berikut pengantar kegiatan EGI 2009 Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN

Ekspedisi Geografi Indonesia (EGI) adalah suatu rangkaian perjalanan mengamati fenomena geografi pada suatu trase atau rute tertentu. Pengamatan fenomena sepanjang trase tersebut dimulai dari pegunungan sampai daerah pantai.

Fenomena geografi yang diamati meliputi unsur :

–                      Hayati (biotik)

–                      Nir Hayati (abiotik)

–                      Budaya (culture)

–                      Dampak lingkungan

Dengan menjadikannya fenomena geografi sebagai dalam suatu rekaman melalui tulisan ilmiah populer dan audio visual dari lokasi atau wilayah, diharapkan dapat memberikan wacana baru kepada masyarakat luas bahwa didalamnya masih ada banyak peluang ekonomi dan nilai-nilai budaya yang pada akhirnya dapat membangkitkan semangat dan kecintaan pada tanah air, temasuk didalamnya mengkomunikasikan dengan masyarakat internasional.

Sumatera utara merupakan provinsi multietnis dengan suku Melayu, Batak, dan Nias sebagai penduduk asli daerah ini, dan suku-suku lain seperti Jawa dan Tionghoa yang telah masuk sejak jaman Hindia Belanda dan mendiami wilayah tertentu di Provinsi ini. Keberadaan Danau Toba yang merupakan danau terbesar di Indonesia juga menjadi bagian tak terpisahkan dari Provinsi Sumatera Utara. Danau Toba terbentuk dari letusan supervolcano yang terjadi sekitar 75.000 tahun lalu dan menghasilkan kaldera yang kemudian terisi air. Tekanan ke atas magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Sumatera Utara juga tersohor karena luas perkebunannya yang hingga kini tetap menjadi primadona perekonomian provinsi. Kekhasan fenomena ini akan menarik diamati dalam Ekspedisi Geografi Indonesia 2009, sehingga diharapkan dapat menarik benang merah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada wilayah ini.

 

II. TUJUAN

Tujuan Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 adalah melakukan kajian ilmiah dan menyampaikan dalam bentuk buku ilmiah populer berbasiskan abiotik, biotik, budaya, dan dampak lingkungan yang ada di wilayah Sumatera Utara. Hasil kajian ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air ke masyarakat luas, dengan cara tayangan dan penyebarluasan informasi potret atau gambaran fenomena yang ada di wilayah Sumatera Utara.

 

III. PESERTA

Ekspedisi geografi 2009 ini didukung oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu yang dikelompokkan dalam bidang abiotik (geologi, geodesi), biotik (biologi), budaya (antrapologi, ekonomi, toponimi), serta dampak lingkungan (geologi lingkungan, geografi).

Read Full Post »