Feeds:
Posts
Comments

Archive for October, 2008

Nipah swamp community in Sungai Serapuh included the primary and secondary nipah swamp vegetation community, however, all of nipah swamp community in Sungai Besitang was only composed by disturbed community. Undisturbed nipah swamp community did not found in Sungai Besitang. Therefore, the nipah swamp community in Sungai Serapus is more complete and representative than Sungai Besitang for PhD research program.

 

Full Report in doc, ppt

Read Full Post »

Beberapa artikel yang ditulis oleh Onrizal maupun dengan penulis lain tersedia di website Perpustakaan USU.

Daftar artikel dimaksud adalah:

Restorasi Lahan Terkontaminasi Logam Berat
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan unsur yang berbahaya di permukaan bumi, sehingga kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah besar dunia saat itu, oleh Onrizal…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2006-04-05 |  Dibaca: 1846 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Hutan Dan Pengaturan Tata Air
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Air esensial bagi kehidupan. Kehidupan manusia, flora dan fauna, baik yang terlihat (makroorganisme) Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 4040 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Ekosistem Sungai Dan Bantaran Sungai
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Sungai diibaratkan sebagai urat nadi dalam tubuh manusia, sementara air yang mengalir dalam urat nadi tersebut adalah seumpama darah. Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 5559 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Adaptasi Tumbuhan Mangrove Pada Lingkungan Salin Dan Jenuh Air
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 5261 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Pembukaan Lahan Dengan Dan Tanpa Bakar
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Pertambahan penduduk dunia antara lain berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lahan, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 2258 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Tanam Pengkayaan Untuk Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan Dengan Teknik Tanam
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Pengelolaan hutan alam tropika basah untuk tujuan produksi berpedoman pada azas kelestarian hasil, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 2153 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Restorasi Lahan Terkontaminasi Logam Berat
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan unsur yang berbahaya di permukaan bumi, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 5383 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Teknik Pembuatan Herbarium
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Kegiatan penelitian dalam bidang kehutanan semakin beraneka ragam, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2005-02-25 |  Dibaca: 2014 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Metodologi Penilaian Tegakan Hutan Tanaman
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Pengelolaan hutan selalu ditujukan untuk mendapatkan manfaat optimum. Memahami manfaat hutan, mengandung arti harus dilakukannya penilaian terhadap Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2002-08-29 |  Dibaca: 460 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Flora Dan Habitat Hutan Mangrove
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto, 1984). Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2002-08-29 |  Dibaca: 1587 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Studi Pengelolaan Hutan Mangrove Sebagai Suaka Margasatwa: Studi Kasus Di Suaka Margasatwa Karang
Penulis: Onrizal
Deskripsi: SM KGLTL merupakan satu-satunya suaka mergasatwa di Indonesia yang sebagian besar kawasannya berupa hutan mangrove. Bersarkan letaknya di pesisir pantai, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2002-08-29 |  Dibaca: 638 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove Dan Alternatif Rehabilitasi Di Jawa Barat Dan Banten
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir memegang peranan yang cukup penting, Oleh ONRIZAL…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2002-08-29 |  Dibaca: 2088 kali |  Di-download: 0 kali |  Komentar: 0
Model Penduga Biomassa Dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas Di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat
Penulis: Onrizal
Deskripsi: Biomassa dan karbon di atas permukaan tanah dari tegakan hutan kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum TNDS, Kalimantan Barat telah diduga dalam kurun waktu Desember 2003 – Februari 2004. Metode hubungan alometrik digunakan untuk menduga biomassa dan ka…
[ baca selanjutnya ]
Tanggal Upload: 2008-04-23 |  Dibaca: 80 kali |  Di-download: 3 kali |  Komentar: 0

Read Full Post »

Hutan dan pengaturan tata air

Onrizal

Air esensial bagi kehidupan. Kehidupan manusia, flora dan fauna, baik yang terlihat secara kasat mata(makroorganisme) maupun yang tidak terlihat dengan mata telanjang (mikroorganisme) sangat tergantung pada air. Sehingga, secara alamiah, dapat dipahami bahwa tanpa air tidak ada kehidupan, karena berbagai fungsi air bagi kehidupan tidak tergantikan oleh benda lain.

Untuk artikel lengkap silahkan download pada web Perpustakaan USU

Read Full Post »

Buku “Jenis-jenis pohon mangrove di Teluk Bintuni, Papua” merupakan sebagian dari hasil penelitian skripsi Onrizal (NIM: E29.1447) saat menyelesaikan studi sarjana pada Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian dan penerbitan buku tersebut dibiayai oleh PT BUMWI.

Buku tersebut telah diterbitkan sebanyak 3 kali, yaitu edisi pertama tahun 1997, edisi kedua tahun 2003 dengan penambahan data kondisi lingkungan, silvikultur dan pemanfaatan, dan edisi ketiga tahun 2006 dengan penyempurnaan dari 2 edisi sebelumnya.

Wassalam,

Onrizal

Read Full Post »

ABSTRACT

Ecological studies on mangrove forest in East Coast of North Sumatra have been carried out with field work in transect method and laboratory analyses. This study would be covered on floristic composition, abrasion, green belt, soil properties, and water quality of mangroves. Land system map and landsat TM imagery (year 1996 coverage) as main material in this study were used and overlay to determine training area. Based on vegetation inventory found that 20 mangrove species and by vegetation analyses, we known that Avicennia marina was as dominant tree species of seedling and sapling stage. Tree stage was not found in the area, yet. Environment properties of the mangrove area were suitable for mangrove growth and rehabilitation with the exception of pyrite content in the mangrove soil. Average of mangrove green belt was 25 m with range from 10 to 80 m in KJP land system and 30 m with range 10 to 50 m in PTG land system. Abrasion rate in the area was very high, i.e. 6 m per year in KJP land system, and 10 m per year in PTG land system.

Artikel lengkapnya di: sini

 

Read Full Post »

SETAHUN PASCA TSUNAMI:

MENGAPA HUTAN MANGROVE DAN HUTAN PANTAI HARUS DILESTARIKAN?

 

ONRIZAL

 

Hutan mangrove dan hutan pantai merupakan salah satu topik yang banyak dibicarakan setelah tsunami setahun lalu – 26 Desember 2004 – yang menelan korban ratusan ribu nyawa dan kehancuran sarana dan prasarana kehidupan di sebagian besar pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan pantai barat Sumatera Utara dan belasan negara lainnya mulai dari Asia Tenggara sampai pantai timur benua Afrika hanya dalam waktu beberapa menit saja. Pembicaraan itu bukan hanya pada tingkatan lokal, namun mencapai tingkat nasional dan internasional mengingat dampak tsunami yang massif dengan jangkauan yang luas.

Sebagai contoh misalnya, masyarakat lokal yang selamat menginginkan pantainya ditanamai kembali dengan hutan bakau (istilah umum untuk hutan mangrove) atau hutan pantai. Pada tingkat nasional, Menteri Kehutanan – MS Kaban langsung memprioritaskan rehabilitasi hutan mangrove yang rusak, tidak hanya di NAD dan Sumatera Utara namun di seluruh Indonesia dalam kerangka Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) mulai tahun 2005. Dana puluhan milyar rupiah-pun telah disiapkan. Sekitar bulan Maret 2005, Menhut langsung secara simbolis melakukan penanaman mangrove di Aceh. Lalu pada tingkat Internasional ada pertemuan para ahli ekologi dunia di India yang berakhir pada 2 Februari 2005 menyimpulkan bahwa hutan mangrove secara nyata mengurangi dampak tsunami di pesisir pantai Asia, sehingga hutan mangrove merupakan pelindung alami pantai dari tsunami dan apabila mangrove hilang, maka kerusakan yang terjadi akan maksimal.

Ya, memang, pembicaraan tentang hutan mangrove dan hutan pantai semakin meningkat sejak peristiwa tersebut. Sebelumnya sangat jarang yang membicarakannya. Jangankan di masyarakat umum, kondisi yang hampir sama pun dijumpai pada mahasiswa kehutanan. Mungkin informasi berikut bisa memberikan gambaran. Saat penulis kuliah di Fakultas Kehutanan IPB di awal tahun 1990, sangat sedikit mahasiswa yang mengambil skripsi dengan topik hutan mangrove dan hutan pantai. Semacam “guyonan” sering ada di antara mahasiswa: “sudah berlumpur dan banyak nyamuk, namun kalau lulus sangat sedikit HPH yang mau nampung” Memang kalau penelitian di hutan mangrove pasti akan setiap hari berkubang lumpur dan digigiti nyamuk, lalu setelah lulus sangat sedikit HPH (hak pengusahaan hutan) yang arealnya berupa hutan mangrove dan hanya bisa dihitung dengan jari, sehingga otomatis lapangan kerjanyapun “sempit”. Selain itu, penggunaan kayu mangrove yang komersial saat itu masih terbatas. Begitu juga dengan hutan pantai, meskipun tidak berlumpur, namun tidak ada HPH yang mengelola hutan pantai karena kayunya tidak komersial. Sampai saat ini, masih sangat sedikit laporan terkait dengan berbagai hal tentang hutan pantai di Indonesia

Beda dengan hutan hujan tropika dataran rendah yang kaya akan jenis-jenis komersial, seperti meranti dan keruing yang jumlahnya banyak dan harganya pun tinggi serta ratusan HPH dengan luas jutaan ha merupakan lapangan kerja yang menggiurkan bagi kebanyakan lulusan sarjana kehutanan. Oleh karenanya sangat sedikit yang mau mengambil keahlian di bidang hutan mangrove dan hutan pantai dibandingan dengan hutan hujan tropika dataran rendah.

Akibat berikutnya adalah banyak hutan mangrove dan hutan pantai yang rusak akibat konversi menjadi peruntukkan lain, misalnya tambah, perkebunan, areal industri dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang sering digunakan adalah daripada areal tersebut tidak bernilai ekonomi, semacam areal terlantar, maka lebih baik dijadikan tambak yang hitung-hitungan keuntungannya “sudah jelas” Namun apa lacur, berbagai fakta dilapangan kemudian menunjukkan bahwa tambak yang dibangun dengan menebang habis hutan mangrove yang sebelumnya tumbuh di daerah itu hanya produktif sekitar 3 – 4 tahun saja. Setelah itu, ikan dan udang yang diusahakan habis oleh hama dan penyakit. Selain itu, abrasi atau pengkisan pantai oleh arus laut meningkat tajam, dimana diberbagai pantai laju abrasinya lebih dari 10 m setiap tahunnya. Bisa dibanyangkan berapa luas daratan pantai yang hilang. Kondisi tersebut jelas terlihat di pantai utara (pantura) Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumatera.

Contoh terakhir adalah kehancuran sebagian besar pesisir pantai akibat tsunami di akhir tahun lalu. Pada sisi lain juga dijumpai pesisir pantai yang selamat dari tsunami karena energi gelombang tsunami diredam oleh hutan mangrove dan hutan pantai yang masih baik dan kompak di daerah tersebut, misalnya di pantai utara Nias, seperti yang penulis temukan dan di Lhok Pawoh dan Ladang Tuha di Aceh Selatan, seperti dilaporkan WI-IP. Kondisi inilah yang kemudian menjadi pemicu meningkatnya pembicaraan tentang hutan mangrove dan hutan pantai pasca tsunami. Dan tentu, hal ini pulalah sebagai alasan utama mengapa hutan mangrove dan hutan pantai harus dipertahankan atau harus dilestarikan. Lalu, apa alasan lainnya?

Berbagai fungsi hutan mangrove dan hutan pantai

Hutan mangrove dan hutan pantai merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomis, dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangrove dan hutan pantai bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis flora dan fauna yang hidup di dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove.

Fungsi fisik

Secara fisik hutan mangrove dan hutan pantai menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi pantai, melindungi daerah dibelakangnya dari hempasan gelombang dan angin kencang, dan mencegah intrusi air garam (salt intrution) ke arah darat. Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik, dan sebagainya.

Setiap saat pantai terancam abrasi akibat arus dan gelombang laut yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai, sangat besar peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan gelombang yang terus menerpanya.

Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto dkk (2003). Pratikto melaporkan bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan – Banyuwangi mampu mereduksi atau mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai tersebut. Istiyanto dkk (2003) melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut. Seorang ahli ekologi – Venkataramani tahun 2004 menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok yang melindungi kehidupan masyarakat pesisir di belakang mangrove dari tsunami. Selanjutnya, lembaga penelitian MSSRF tahun 2005 menjelaskan bahwa hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan).  Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya penelitian Darmiyati dkk tahun 1995 menemukan jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan penelitian Saefullah tahun 1995 menginformasikan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm,   Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur tersebut merupakan pulutan berupa logam berat jika berada dilingkungan akan berbahaya bagi flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia. Dengan demikian hutan mampu mereduksi polutan dari lingkungan

Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan Hilmi tahun 1998, yakni percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan.

Hasil analisis sedimentologi oleh Sediadi (1990) menunjukkan bahwa pada habitat Rhizophora spp. dan Avicennia spp. kandungan lumpurnya mencapai 61 %, sedangkan sisanya berupa pasir dan kerikil.  Selanjutnya Suryana dkk (1998) melaporkan bahwa tanah timbul di pantai utara pulau Jawa hanya dijumpai didepan hutan mangrove dengan fenomena semakin lebar mangrove semakin lebar pula tanah timbulnya dengan perimbangan ratio rataan sekitar 5 m tanah timbul per 1 m lebar mangrove.

 

Fungsi biologis

Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Seperti dilaporkan Naamin tahun 1990, daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain). Dengan demikian, kerusakan apalagi kehilangan hutan mangrove akan menyebabkan terputusnya awal rantai makanan di pesisir pantai, sehingga ikan dan udang serta fauna perairan pantai tidak mendapatkan pakan. Akibat berikutnya adalah berkurangnya populasi ikan dan selanjutnya berdampak langsung pada menurunnya tangkapan nelayan.

Fungsi ekonomi atau fungsi produksi

Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ahli ekologi mangrove dunia, Saenger (1983) mencatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain. Secara tradisional, sudah sejak lama masyarakat yang berada di pesisir pantai mendapatkan bahan-bahan obat-obatan dari hutan mangrove dan hutan pantai.

Penutup

Keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai tidak saja mampu secara nnyata melindungi pesisir pantai dari kerusakan akibat angin, abrasi sampai gelombang tsunami, namun juga memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya.  Sehingga kehilangan hutan mangrove dan hutan pantai, secara langsung akan berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir, termasuk hilangnya mata pencaharian serta sumber kehidupan mereka lainnya dan ancaman kehancuran pesisir pantai akibat gempuran arus laut dan angin yang pasti selalu hadir di kawasan tersebut. Dengan demikin, keberadaannya di kawasan pesisir pantai adalah sebuah kemestian. Oleh karena itu, hutan mangrove dan hutan pantai yang rusak harus segera direhabilitasi agar kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Sebagai kesimpulan akhir, mengelola hutan mangrove dan hutan pantai berarti menjaga hidup dan kehidupan manusia serta makhluk lainnya. Inilah alasan utama, mengapa hutan mangrove dan hutan pantai harus dikelola secara lestari.

  

Read Full Post »

ANCAMAN KELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT DAN ALTERNATIF REHABILITASINYA

 

Oleh:

Onrizal

 

Sejarah Kawasan

          Pulau Rambut merupakan salah satu pulau dari 108 pulau yang menyusun Kepulauan Seribu yang terletak di Teluk Jakarta. Secara geografis, pulau ini berada di antara 106,5 o 41’ 30” BT dan 5,5 o 57’ LS. Sedangkan berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan ini termasuk ke dalam wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

          Pulau Rambut pertama kali diusulkan sebagai kawasan konservasi disampaikan oleh Direktur Kebun Raya Bogor kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta.  Alasan yang paling penting adalah untuk melindungi berbagai jenis burung air yang banyak terdapat di pulau tersebut. Menindaklanjuti usulan tersebut, pada tahun 1937 Pulau Rambut ditetapkan secara resmi sebagai cagar alam melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 7 tanggal 3 Mei 1937.  Selanjutnya keputusan tersebut dibuat dalam Lembaran Negara (Staadblat) No. 245 tahun 1939.  Sedangkan pelaksanaannya diatur dalam peraturan (Ordonansi) Perlindungan Alam tahun 1941 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 167 tahun 194 Pada saat penetapan Pulau Rambut sebagai cagar alam pada tahun 1937 tersebut luasnya dinyatakan sebesar 20 ha. 

          Dalam perkembangannya, kondisi dan potensi Pulau Rambut terus berubah.  Berdasarkan hasil studi PPKHT IPB(1997) diketahui bahwa sebagian besar vegetasi mangrove mengalami kematian akibat pencemaran sampah dan minyak.  Selain itu, akibat tercemarnya habitat mangrove oleh sampah dan minyak juga menyebabkan terhambatnya regenerasi tumbuhan mangrove.  Oleh karena dalam suatu kawasan cagar alam tidak dibenarkan adanya campur tangan manusia dalam kegiatan pembinaan habitat di dalam kawasan, maka diusulkan dan direkomendasikan agar status Pulau Rambut dari cagar alam diubah menjadi suaka margasatwa.

          Menyambut rekomendasi tersebut dan juga dalam rangka menyelamatkan kondisi dan potensi Pulau Rambut, maka pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 275/Kpts-II/1999 tertanggal 7 Mei 1999 memutuskan untuk merubah status Pulau Rambut dari cagar alam menjadi suaka margasatwa dengan luas 90 ha yang terdiri atas sekitar 45 ha daratan dan 45 ha perairan.

 

Burung-burung di Pulau Rambut dan Habitatnya

 

          Secara alami, kawasan Pulau Rambut merupakan habitat berbagai satwa, terutama burung-burung air (merandai) dan tempat persinggahan burung-burung migran.  Berdasarkan berbagai hasil pengamatan, Pulau Rambut memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi, dimana sudah tercatat 56 jenis burung yang dijumpai di pulau ini. Secara umum, burung-burung tersebut terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok burung air (18 jenis) dan kelompok bukan burung air (38 jenis).

          Jumlah dan komposisi burung yang dijumpai di Pulau Rambut dari waktu ke waktu bisa saja berbeda karena dinamika habitat, perilaku dan perkembangan berbagai jenis burung tersebut.  Sebagai contoh misalnya, Suwelo (1973) dalam Fakultas Kehutanan IPB (2002) menjumpai 49 jenis burung di Pulau Rambut yang terdiri dari 16 jenis burung air dan 33 jenis  bukan burung air. Sedangkan Mardiastuti (1992) melaporkan bahwa terdapat 15 jenis burung air di Pulau Rambut. Lebih lanjut Mardiastuti (1992) menjelaskan bahwa dari 15 jenis burung air yang dijumpai tersebut, famili Heron (Ardeidae) dan Cormorant (Phalacrocoracidae) merupakan famili yang memiliki populasi terbesar. Jenis yang lainnya termasuk ke dalam family Darter (Anhingidae), Stork (Ciconiidae) dan Ibises (Threskiornithidae).

          Pulau Rambut memiliki kelebihan yang sangat menonjol sebagai tempat berbiak burung-burung air terbesar di Jawa Barat dan sekitarnya. Hutan campuran merupakan habitat burung di Pulau Rambut yang berfungsi sebagai tempat sarang, tempat kawin, tempat berkembangbiak, tempat membesarkan anak, tempat berlindung dari ancaman predator, dan tempat beristirahat. Mardiastuti (1992) melaporkan bahwa habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran.

          Hutan pantai merupakan habitat yang berfungsi sebagai tempat beristirahat burung pemakan biji dan serangga, seperti tekukur, kucica dan kepodang. Hutan pantai yang didominasi oleh pohon kepuh dan kedoya yang berbatasan dengan hutan mangrove merupakan habitat yang berfungsi sebagai tempat bersarang dan tempat membesarkan anak serta tempat beristirahat.  Sulistiani (1991) menyatakan bahwa Egretta garzetta membuat sarang di hutan magrove terutama pada pohon Rhizophora sp. dan Ceriops tagal. Ayat (2002) menemukan bahwa pohon yang dijadikan sebagai tempat bersarang adalah Sterculia foetida, R. mucronata, Ficus timorensis dan Excoecaria agallocha.  Karakteristik jenis pohon sebagai inang berupa pohon masih hidup dan jenis emergent, kecuali pada tipe hutan mangrove yang memiliki tajuk yang tidak berhubungan dengan tajuk pohon di sekitarnya dan berukuran lebar, tinggi pohon > 11 meter dan diameter sekitar 66,6 cm. Sebelumnya, Imanuddin (1999) juga menemukan bahwa Myctenia cinerea bersarang pada Sterculia foetida, Manilkara kauki dan Xylocarpus granatum dengan tinggi pohon > 6 meter dan penutupan tajuk > 25,9 meter persegi. 

         Habitat kelompok bukan burung air di Pulau Rambut adalah hutan campuran, hutan pantai, dan hutan mangrove sekunder yang digunakan sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung. Di hutan mangrove primer tidak ditemukan jenis bukan burung air. Di habitat hutan pantai, jumlah individu burung ditemukan paling banyak. Hal ini disebabkan di hutan pantai terdapat banyak pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung (Departemen Kehutanan,1994).

          Selengkapnya: sm-pulau-rambut 

 

Read Full Post »

UPAYA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DALAM PEMULIHAN KUALITAS LINGKUNGAN[1]

 

Oleh

Cecep Kusmana1), Istomo1), Sri Wilarso1), Endes N. Dahlan1), dan Onrizal2)

1) Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

2) Staf Pengajar Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian USU, Medan

 

 

A. KONDISI HUTAN INDONESIA SAAT INI

 

Indonesia mempunyai kekayaan alam berupa hutan tropis yang sangat luas dan menempati urutan nomor tiga dari segi luasan setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Hutan tropis ini merupakan hutan yang unik dan memiliki biodiversitas yang sangat tinggi. 

Tipe-tipe hutan di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan monsun musiman dan padang savanna di Nusa Tenggara serta hutan non Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan sub-alpin dan alpin di Papua.  Indonesia juga memiliki hutan Mangrove seluas 3,7 juta hektar dan merupakan hutan mangrove terluas di dunia (Kusmana, 2002).

Hutan-hutan tersebut telah memberikan andil yang cukup besar terhadap Pembangunan dan Perekonomian Indonesia selama tigapuluh dekade terakhir ini, namun demikian akankah hutan-hutan yang dimiliki Indonesia masih memberikan sumbangan yang serupa terhadap kehidupan makhluk di bumi ini dimasa yang akan datang?.  Dibawah ini adalah gambaran kondisi hutan Indonesia sejak tahun 1950 hingga kini.

 

Selengkapnya: upaya-rehabilitasi-hutan-dan-lahan


[1] Karya tulis ini disampaikan pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan, pada hari Jumat, tanggal 4 Juni 2004 di Klub Rasuna, Ahmad Bakrie Hall, Jakarta

Read Full Post »

PERANAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MENUNJANG KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR

Onrizal

Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU dan Departemen Kehutanan USU

HP. +62-81314769742

Disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Mangrove Bagi Masyarakat Pesisir yang diselenggarakan oleh Sub-Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat, Maret 2008

Hutan mangrove saat ini menjadi trend perbincangan, terutama setelah bencana tsunami di akhir tahun 2004 menelan ratusan ribu korban dan kehancuran sebagian besar pesisir pantai. Namun demikian, pada daerah pantai yag memiliki hutan mangrove lebat dampak tsunami sangat minim atau tidak membahayakan, seperti yang dijumpai di pantai utara Nias (Onrizal, 2005), beberapa pesisir barat pantai Aceh Selatan (WIIP, 2005), dan berbagai pesisir pantai Asia dan Afrika bagian Timur (Dahdouh-Guebas, 2005).

Sebelumnya banyak yang menganggap hutan mangrove seperti lahan terlantar yang tidak bermanfaat. Oleh karenanya lebih baik dikonversi menjadi areal tambak, perkebunan (kelapa sawit), misalnya, yang jelas hitungan keuntungannya. Praktek konversi mangrove yang umum dilakukan adalah menebang habis pepohonan mangrove sampai ke pinggir pantai. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tambak yang diusahakan dengan menebang habis hutan mangrove hanya produktif selama 3-4 tahun awal saja, setelahnya sudah tidak menguntungkan sehingga kemudian areal tersebut ditinggalkan begitu saja. Dampak kondisi ini adalah meningkatnya abrasi pantai, instrusi air laut dan berbagai dampak lainnya kerena pelindung alami pantai yang berupa tegakan hutan mangrove hilang. Kasus abrasi di pantai utara Jawa, pantai selatan Lampung merupakan bukti nyatanya, dimana pantai hilang dengan lebar lebih dari 10 m. Bisa dibayangkan luasnya pantai yang hilang atau pulau-pulau kecil, misalnya pulau Tapak Kuda di Langkat. Kondisi yang sama juga terjadi di sebagian besar pantai Aceh dan Sumatera Utara. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 6 tahun, yakni dalam periode 1993 – 1999, sekitar 97% hutan mangrove di Aceh dan 27% hutan mangrove di Sumutera Utara hilang dan rusak.

Lalu, pertanyaannya adalah pengelolaan hutan mangrove yang bagaimana yang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan?

Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer (primary biotic component). Sebelum membicarakan pemanfaatan secara lestari, akan terlebih dahulu digambarkan berbagai fungsi mangrove, lalu bentuk-bentuk pemanfaatan ril di lapangan apa adanya, kemudian baru bentuk pemanfaatannya yang lestari.

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomis, dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangrove bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis flora dan fauna yang hidup di dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove. Para ahli antara lain, Harger (1982), Hamilton & Snedaker (1984), Naamin (1990), Odum et al. (1982), dan Snedaker (1978) sependapat bahwa hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik, dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, biologi, dan fungsi ekonomi atau produksi.

A. Fungsi Mangrove

A1. Fungsi fisik

Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya.

Hutan mangrove mampu meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto et al. (2003). Pratikto et al. (2002) melaporkan bahwa di Teluk Grajagan – Banyuwangi yang memiliki tinggi gelombang tersebut sebesar 1,09 m, dan energi gelombang sebesar 1493,33 Joule, maka ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mereduksi energi gelombang sampai 60%, sehingga keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil gelombang tsunami yang menyerang daerah pantai. 

Istiyanto, Utomo dan Suranto (2003) menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.  Hasil pengujian tersebut dapat digunakan dalam pertimbangan awal bagi perencanaan penanaman hutan mangrove bagi peredaman penjalaran gelombang tsunami di pantai.

Pasca tsunami 26 Desember 2004 yang melanda Asia dengan pusat di pantai barat Aceh terdapat fakta bahwa hutan mangrove yang kompak mampu melindungi pantai dari kerusakan akibat tsunami (Istiyanto et al., 2003, Pratikto et al. 2002, Dahdouh-Guebas, 2005, Onrizal, 2005, Sharma, 2005). Demikian juga hal sama dijumpai pada kawasan pantai dengan hutan pantai yang baik mampu meredam dampak kerusakan tsunami (WIIP, 2005)

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan).  Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu (Darmiyati et al., 1995), dan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm,   Ni ³ 2,4 ppm (Saepulloh, 1995).  Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan Hilmi (1998), yakni percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan. 

 

A2. Fungsi biologis

Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).

Kerusakan mangrove di pantai Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (56,32% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap). Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara dilaporkan Amala (2004) menyebabkan berkurangnya secara nyara kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata). Hasil penelitian Onrizal et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin bertambah umur mangrove hasil rehabilitasi akan meningkatkan populasi dan keragaman biota pesisir pantai.

A3. Fungsi ekonomi atau fungsi produksi

Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.

Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan. 

Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik.

Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove.

B. Manfaat Mangrove

Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer (primary biotic component), sebagai berikut :

B1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan.

a.     Lahan tambak, lahan pertanian dan kolam garam

Di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, kawasan pantai Kalimantan, pantai Sulawesi, Bali, Nusa Tenggra dan pulau-pulau lainnya, banyak lahan mangrove dikonversi untuk lahan tambak, lahan pertanian dan kolam pembuatan garam.  Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengkonversian lahan mangrove menjadi jenis penggunaan lain seperti tersebut di atas dilakukan dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian ekosistem.

Sebenarnya dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa dikonversi menjadi jenis penggunaan lain dalam proporsi dan pada lokasi yang tepat sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhnya mangrove dan persyaratan kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang direkomendasikan.

b.     Lahan pariwisata

Beberapa potensi ekosistem mangrove yang merupakan modal penting bagi tujuan rekreasi adalah :

(1)   Bentuk perakaran yang khas umum ditemukan pada beberapa jenis pohon mangrove, seperti akar tunjang (Rhizophora spp.), akar lutut (Bruguiera spp.), akar pasak (Sonneratia spp. dan Avicennia spp.), akar papan (Heritiera spp.), dan lain-lain.

(2)   Buahnya yang bersifat vivipar (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang diperlihatkan oleh beberapa jenis pohon mangrove, seperti jenis-jenis yang tergolong suku Rhizophoraceae.

(3)   Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi dengan hutan rawa).

(4)   Berbagai jenis fauna dan flora yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, dimana jenis fauna dan flora tersebut kadang-kadang jenis endemik bagi daerah yang bersangkutan.

(5)   Atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove.

(6)   Saat ini, nampaknya hutan-hutan mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan/tambak tumpangsari, penebangan, pembuatan garam, dan lain-lain bisa menarik para wisatawan.

Bentuk-bentuk kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan di hutan mangrove adalah berburu, memancing, berlayar, berenang, melihat atraksi berbagai satwa, fotografi, piknik dan berkemah, melihat atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat, dan lain-lain.

B2. Tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer

a.     Flora

Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat digunakan sebagai :

·         Chips untuk bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp.

·         Penghasil industri papan dan plywood, terutama jenis Bruguiera spp. dan Heritiera littoralis.

·         Tongkat dan tiang pancang (scalfold) terutama jenis Bruguiera spp., Ceriops spp., Oncosperma sp., dan Rhizophora apiculata.

·         Kayu bakar dan arang yang berkualitas sangat baik.

Sudah sejak lama, berbagai jenis tumbuhan mangrove dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat lokal seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat lokal

No.

Jenis

Kegunaan

1.       

Acanthus ilicifolius

Buah yang dihancurkan dalam air dapat digunakan untuk membantu menghentikan darah yang keluar dari luka dan mengobati luka karena gigitan ular.

2.       

Acrostichum aureum

Bagian tanaman yang masih muda dapat dimakan mentah atau dimasak sebagai sayuran.

3.       

Aegiceras corniculatum

Kulit dan bijinya untuk membuat racun ikan.

 

Acanthus ilicifolius &

A. embrathatus

Mandi dengan memakai air ekstraksi rebusan kulit batang dan akar dapat mengurangi simpton dingin, mengobati alergi pada kulit dan penyakit. Jika diminum dapat menyembuhkan gejala penyakit sipilis.  Gilingan kulit batang segar yang dibalurkan pada luka bernanah akan mempercepat proses penyembuhan. Jika dicampur dengan jahe, hasil gilingannya dapat dipakai secara lokal untuk mengobati infeksi pada mata dan malaria. Jika digiling bersama kunyit dan gula tebu, dapat dipakai untuk ambien. Jika digiling dengan madu serta licorice (Glycyrrhiza glabra), diminum akan menghilangkan sakit punggung

4.       

A. alba &

A. officinalis

Kayu gubalnya agak asin bisa mengembalikan vitalitas seseorang.  Umumnya bila direbus bersama kayu gubal Cassia dan ekstraknya diminum berguna memperlancar darah menstruasi.

5.       

Avicennia alba

Daun yang masih muda dapat untuk makanan ternak, bijinya dapat dimakan jika direbus, kulitnya  untuk obat tradisional (astringent), zat semacam resin yang dikeluarkan bermanfaat dalam usaha mencegah kehamilan, salep yang dicampur cara membuatnya dengan biji tumbuhan ini sangat baik untuk mengobati luka penyakit cacar, bijinya sangat beracun sehingga harus hati-hati dalam memanfaatkannya.

6.       

A. marina

Daun yang muda dapat dimakan/disayur, polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu yang diternakkan, abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam pembuatan sabun cuci.

7.       

A. officinalis

Biji dapat dimakan sesudah dicuci dan direbus.

8.       

Bruguiera gymnorrhiza

Kayunya sangat berguna dalam industri arang/kayu bakar dan tanin, kulit batang yang masih muda dapat untuk menambah rasa sedap ikan yang masih segar.

9.       

B. parviflora

Kayunya untuk arang dan kayu bakar.

10.   

B. sexangula

Daun muda, embrio buah, buluh akar dapat dimakan sebagai sayuran, daunnya mengandung alkaloid yang dapat dipakai untuk mengobati tumor kulit, akarnya untuk kayu menyan, buahnya untuk campuran obat cuci mata tradisional.

11.   

Ceriops tagal

Kulit batang baik sekali untuk mewarnai dan sebagai bahan pengawet/penguat jala-jala ikan dan juga untuk industri batik, kayunya baik untuk industri kayu lapis (plywood). Kulit batang digunakan sebagai astrigen, namun kurang disukai. Hasil ekstraksi diminum dapat menghentikan diare, anti muntah dan anti beberapa penyakit disentri. 

 

Clerodendron inerme

Air ekstraksi daunnya digunakan untuk membasuh kulit yang diserang parasit.  Gilingan daun kering akan melindungi luka dari infeksi.  Daun yang direndam dalam spiritus panas dapat mengurangi bengkak bila ditempelkan.  Air ekstraksi akar kering terasa pahit dan dapat digunakan untuk mengobati dingin, hepatitis, kanker hati dan luka memar.

12.   

Derris trifoliana

Batang, akar dan daun dapat berfungsi sebagai perangsang untuk kontipasi dan mengurangi cairan pada saluran pernapasan serta dapat mengurangi pengaruh malnutrisi pada anak-anak.

13.   

Excoecaria agallocha

Getahnya beracun dan dapat dipakai untuk meracuni ikan. Asap hasil pembakaran kayu dipakai untuk mengobati lepra.  Kayu gubal untuk anti perut kembung dan mucolulitic.  Tepung dalam keadaan basah dapat dibalurkan pada kulit untuk menurunkan panas dan mengurangi bengkak. Ekstraksi daun yang diminum dapat mengurangi gejala epilepsi

14.   

Heritiera littoralis

Kayunya baik untuk industri papan, air buahnya beracun dan dapat untuk meracuni ikan.

15.   

Hibiscus tiliaceus

Bunga segar direbus dengan susu segar dan dipakai ketika dingin untuk membersihkan infeksi pada telinga.

16.   

Lumnitzera racemosa

Rebusan daunnya untuk obat sariawan.

17.   

Nypa fruticans

Daun untuk atap rumah, dinding, topi, bahan baku kertas, keranjang dan pembungkus sigaret, nira untuk minuman dan alkohol, biji untuk ”jely” dan sebagai kolang-kaling, dan pelepah yang dibakar untuk menghasilkan garam.

18.   

Oncosperma tigillaria

Batangnya untuk pancang rumah, umbut untuk sayuran, bunganya untuk menambah rasa sedap nasi.

19.   

Rhizophora apiculata

Kayunya untuk kayu bakar, arang, chips dan kayu konstruksi.

 

20.   

R. apiculata &

R. mucronata

Air rebusan kulit batang dipakai untuk astrigen, anti-diare dan anti muntah.  Kulit batang yang sudah dilumatkan bila ditempelkan pada luka baru dapat menghentikan pendarahan luka. Gilingan daun muda yang dikunyah berfungsi untuk menghentikan pendarahan (hoemostatic) dan antiseptik.

 

21.   

R. mucronata

Kayunya untuk arang/kayu bakar dan chips.  Air buah dan kulit akar yang muda dapat dipakai untuk mengusir nyamuk dari tubuh/badan.

 

22.   

Sonneratia caseolaris

Buahnya dapat dimakan, cairan buah untuk menghaluskan kulit, daunnya untuk makanan kambing dan menghasilkan pektin.

 

 

Thespesia populnea

Kudis dapat diobati dengan menempelkan gilingan buah dan daunnya pada tempat yang sakit.  Ekstrak kulit batang dipakai untuk membersihkan luka yang sudah kronis. Akar muda digunakan sebagai tonik.

 

23.   

Xylocarpus granatum &

X. mollucensis

Bijinya diminum untuk menyembuhkan diare dan kolera.  Air ekstraknya dapat dipakai untuk membasuh luka

 

24.   

X. moluccensis

Kayunya baik sekali untuk papan, akar-akarnya dapat dipakai sebagai bahan dasar kerajinan tangan (hiasan dinding, dll), kulitnya untuk obat tradisional (diarhoea), buahnya mengeluarkan minyak yang dapat dipakai untuk minyak rambut tradisional.

 

 

b.     Fauna

Sebagian besar jenis fauna mangrove yang berpotensi dimanfaatkan oleh masyarakat adalah berupa berbagai jenis ikan, kepiting dan burung.

b.1. Ikan

Berdasarkan hasil penelitian para ahli ada lebih dari sekitar 52 jenis ikan yang hidup di habitat mangrove Indonesia.  Dari berbagai jenis ikan tersebut ada enam jenis yang umum diketemukan, yaitu Mullet (Mugil cephalus), Snapper (anggota Lutjanidae), Milkfish (Chanos chanos), seabass (Lates calcarifer), Tilapia (Tillapia sp.), Mudskipper (Periothalmus spp.)

b.2. Udang dan kepiting

Ada sekitar 61 jenis udang dan kepiting yang hidup di habitat mangrove Indonesia, diantaranya jenis-jenis yang umum diketemukan di habitat tersebut, adalah : Uca spp. (fiddler crab), Sesarma spp., Scylla serata, Macrobrachium rosenbergii, Penaeus spp. Jenis udang, bandeng dan kepiting biasanya dibudidayakan oleh masyarakat dalam bentuk tambak, sedangkan jenis-jenis ikan lainnya dan Crustaceae serta moluska diperoleh oleh masyarakat melalui penangkapan.

b.3. Burung

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai lokasi dilaporkan bahwa ada sekitar 51 jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove, diantaranya yang umum ditemukan adalah pecuk (Anhinga sp. dan Phalacocorax sp.), cangak dan blekok (Ardea sp.), bangau/kuntul (Egretta sp. dan Leotoptilos sp.). Masyarakat sekitar mangrove pada waktu-waktu tertentu berburu burung dan memungut telur burung untuk bahan makanan atau untuk dijual, seperti yang terjadi di hutan mangrove Pulau Rambut (Departemen Kehutanan, 1994), Karang Gading dan Langkat (Hanafiah-Oeliem et al. 2000). Hal yang sama juga penulis temui di berbagai kawasan mangrove seperti di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua dan pulau-pulau lainnya.

b.4. Lebah madu

Hutan mangrove merupakan salah satu tempat bersarang yang baik bagi lebah madu, sehingga mangrove sangat potensial untuk menghasilkan madu. Umumnya, lebah madu membuat sarang pada pohon Avicennia spp, Ceriops spp., dan Excoecaria agallocha. Dengan adanya lebah madu membuat sarang di pohon-pohon mangrove akan sangat menguntungkan bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove, yakni dapat memungut madu. Selain memungut madu dari alam dari alam, masyarakat juga bisa mendapatkannya dengan beternak lebah madu.

Berdasarkan kegunaan produk yang dihasilkannya maka produk-produk ekosistem mangrove dikelompokkan menjadi dua yaitu : produk langsung (Tabel 2) dan produk tidak langsung (Tabel 3). Beberapa produk mangrove yang saat ini sudah diusahakan secara meluas dan komersial adalah sebagai berikut :

(a)  Arang

Arang digunakan secara tradisional untuk memasak sehari-hari. Di beberapa negara berkembang arang tersebut telah diusahakan secara komersial dan diekspor, contoh : Rhizophora mucronata dan Rh. apiculata (nilai kalori kayu 7.300 kal/g).

(b)  Kayu Bakar

Kayu bakar dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di sekitar pesisir untuk  keperluan sehari-hari, contoh : Ceriops, Avicennia, Xylocarpus, Heritiera, Excoecaria, Bruguiera dan Lumnitzera .

(c)  Ekstraksi Tanin

Tanin adalah produk hutan mangrove yang dapat dipakai untuk   keperluan pabrik tinta, plastik dan lem. Selain itu juga tanin digunakan untuk mencelup jala ikan dan menyamak bahan dari kulit, contoh : kulit batang Rhizophora  (kandungan tanin 27 %), Bruguiera gymnorrhiza (kandungan tanin 41 %), dan Ceriops tagal (kandungan tanin 46 %).  

(d)  Destilasi Kayu

Kegiatan destilasi kayu umumnya dilakukan di negara Thailand, alat destilasinya terdapat di Ranong, pesisir barat Thailand.  Bahan mentah destilasi ini diperoleh dari lubang-lubang angin alat pembakaran arang.  Bahan mentah destilasi ini mengandung pyroligneous yang bisa dipecah menjadi asam asetat, metanol dan tar dengan perbandingan 5.5 %, 3.4 % dan 6.6 % berturut-turut.

(e)   Kayu Chips

Kayu chips ini merupakan bahan baku untuk pembuatan rayon, negara yang membuat kayu chips dari mangrove adalah Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina dengan tujuan ekspor terutama ke Jepang.

 

3. Pemafaatan Mangrove yang Lestari

Secara garis besar minimal ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang lestari yang dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu (a) tambak tumpangsari, (b) hutan rakyat, (c) budaya mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu, dan (d) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan.

 

 

Tabel 2. Produk langsung dari ekosistem mangrove

Jenis Kegunaan

Produk

Bahan Bakar

Kayu bakar untuk memasak, memanggang ikan, memanaskan lembaran karet, memanaskan batu bata, arang, alkohol

Konstruksi

Kayu untuk tangga, konstruksi berat (misal jembatan), penjepit rel kereta api, tiang penyangga terowongan pertambangan, tiang pancang geladak, tiang dan galah untuk bangunan, bahan untuk lantai, material untuk membuat kapal, pagar, pipa air, serpihan kayu, lem

Memancing

Pancing untuk menangkap ikan, pelampung pancing, racun ikan, bahan untuk pemeliharaan ikan, bahan untuk pemeliharaan jaring, tempat berlindung bagi ikan-ikan

Pertanian

Makanan ternak, pupuk hijau

Produksi tekstil dan kulit

Serat sintetik, bahan pencelup pakaian, bahan untuk penyamak kulit

Produksi kertas, makanan,

Berbagai jenis kertas, gula, alkohol

minuman dan obat-obatan

 

Produk Agroindustri

Minyak goreng, cuka, pengganti teh, minuman fermentasi, pelapis permukaan, rempah-rempah dari kulit kayu, daging dari propagul, sayur-sayuran, buah atau daun, pembalut rokok, bahan obat-obatan dari kulit, daun dan buah

Peralatan rumah tangga

Perabot, perekat, minyak rambut, kerajinan tangan, penumbuk padi, mainan, batang korek api, kemenyan

Lain-lain

Pengepakan / Pengemasan

 Sumber :  Hamilton & Snedaker (1984)

 

Tabel 3.  Produk tidak langsung dari ekosistem mangrove

Sumber

Produk

Finfish (berbagai jenis spesies)

Makanan

 

Pupuk

Crustacea (udang, kepiting)

Makanan

Mollusca (tiram, remis)

Makanan

Lebah

Madu, Lilin

Burung

Makanan

 

Bulu

 

Rekreasi (watching, berburu)

Mamalia

Makanan

 

Kulit berbulu (fur)

 

Rekreasi (watching, berburu)

Reptil

Kulit

 

Makanan

Fauna lainnya (amfibi, serangga)

Makanan

Rekreasi

Sumber : Hamilton & Snedaker (1984)

 

A. Tambak Tumpangsari

Tambak tumpangsari (sylvofishery) ini merupakan unit tambak yang didalamnya mengkombinasikan bagian lahan untuk pemeliharaan ikan/kepiting dan bagian lahan untuk penanaman mangrove. Sampai saat ini dikenal 5 macam model tambak tumpangsari, yaitu model empang tradisional, model komplangan, model empang terbuka, model kaokao dan model tasik rejo. Sistem tambak tumpangsari ini, sebagaimana dilaporkan oleh Quarto (1996, 2000), Fitzgerald (2000) sudah banyak diterapkan diberbagai negara dan merupakan alternatif pengelolaan mangrove yang lestari. Sebagai gambaran, beberapa model sistem tambak tumpangsari disajikan pada Gambar 1.

Perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove yang masih utuh , baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah milik.  Perbandingan ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang. Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan lain.  Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa meninggalkan aspek kelestariannya.

Selain model tambak tumpangsari, terdapat tambak terbuka yang merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove).  Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.

B. Hutan Rakyat

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan, yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).  Jenis-jenis pohon yang umumnya diusahakan adalah Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. dengan siklus tebang sekitar 15 – 30 tahun tergantung pada tujuan penanaman.

C. Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu

Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya  madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain. Beternak lebah dan memanen madu di hutan mangrove dipandang sebagai salah satu manfaat mangrove yang tidak memberikan dampak negatif terhadap fungsi dasar mangrove serta terhadap bahan-bahan yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Kehadiaran lebah-lebah tersebut akan sangat menguntungkan bagai regenerasi mangrove terutama pada penyerbukan pohon-pohon mangrove yang tergantung pada serangga penyerbuk yang antara lain adalah lebah. Departemen Kehutanan (1997) menyatakan bahwa beberapa keuntungan dengan beternak lebah di hutan mangrove antara lain adalah:

·         Menyediakan makanan yang bersifat tahan lama bagi penduduk

·         Menghasilkan produk perdagangan dalam bentuk madu dan lilin

·         Menyediakan lapangan kerja ketika petani/nelayan tidak sibuk dengan kegiatan bertani/menangkap ikan

·         Menyediakan lapangan kerja bagi pengrajin setempat untuk membuat peralatan beternak lebah, dan

·         Meningkatkan produksi tanaman lain melalui penyerbukan silang.

Dari segi sosial ekonomi, beternak lebah madu pada dasarnya merupakan begiatan berskala keluarga dan memiliki keununggulan dibandingkan tipe pertanian lainnya (Departemen Kehutanan, 1997) sebagai berikut:

·         Memerlukan inventasi yang relatif kecil

·         Memanfaatkan sedikit lahan dan kualitas lahan bukan merupakan faktor pembatas

·         Dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dewasa

·         Tidak bersaing dengan kegiatan pertanian lainnya dalam hal penggunaan lahan, dan

·         Merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan pendapatan dari sumberdaya hutan tanpa merusak sumberdaya tersebut.

 

Gambar 1. Model-model tambak tumpangsari yang umum di Indonesia

D. Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan

Bentuk ini ditujukan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu dan kayu bakar/arang dari suatu kawasan mangrove. Salah satu contoh pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat yang menguntungkan dan berkelanjutan adalah di batu Ampar, Kalimantan Barat. Hasil penelitian magister Salmah tahun 2001 di hutan mangrove di daerah tersebut menunjukkan besarnya manfaat ekonomis dari ekosistem mangrove, dimana masyarakat lokal mendapatkan manfaat (pendapatan) yang cukup besar dari ekosistem mangrove dengan efisiensi usaha diatas 70 % tanpa merusak hutan, seperti disajikan pada Tabel 4.

Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove adalah penataan lahan, dimana seharusnya kawasan lindung berupa tegakan hutan mangrove, dimana yang boleh dilakukan kegiatan budidaya, seperti tambak sylvofishery, permukiman, wisata dan sebagainya. Pada Gambar 2 diberikan salah satu contoh penataan kawasan pantai dengan memperhatikan berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove.

Tabel 4. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove Batu Ampar Kalimantan Barat.

Jenis Manfaat

Nilai Manfaat (Rp/th)

Biaya (Rp/th)

%

Manfaat Bersih (Rp/th)

%

Potensi Kayu

60.688.525.900

18.206.553.600

30

42.481.972.300

70

Arang

1.367.871.200

512.729.300

37

855.141.900

63

Daun Nipah

98.205.184

16.874.352

17

81.330.832

83

Bibit Mangrove

100.677.700

21.072.400

21

79.695.300

79

Ikan

1.534.309.800

498.050.900

32

1.036.258.900

68

Udang

8.486.116.800

784.210.200

9

7.701.906.600

91

Kepiting

2.920.904.300

829.454.700

28

2.091.449.600

72

Jumlah

75.196.610.884

20.868.945.452

28

54.327.665.432

72

Sumber: Salmah (2001)

 

 

Gambar 2. Contoh penataan lahan mangrove untuk pemanfaatan secara lestari

 

Penutup

Hutan mangrove yang dikelola dengan baik telah memberikan dukungan bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir melalui fungsi fisik, biologi dan ekonomi sehingga bias dimanfaatkan secara lestari. Pada sisi lain, kerusakan hutan mangrove justru mengancam kehidupan masyarakat pesisir, seperti hilangnya ikan, udang, kepiting dan berbagai biota air lainnya, abrasi pantai, intrusi air laut dan berbagai dampak negative lainnya. Semoga kita menjadi bagian dari yang melakukan perbaikan dan terus berupaya menularkan kepada yang lain sehingga semakin bertambah banyak orang yang berperan dalam perbaikan ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia. Semoga.

Read Full Post »

Hutan kota dan kualitas hidup

MEMBANGUN HUTAN KOTA, MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP

 

Onrizal

HP. +6281314769742, Email: onrizal03@yahoo.com

(Ditulis pertama kali pada 29 Oktober 2006) 

 

Kota merupakan salah satu bagian paling penting dalam kehidupan manusia, mengingat kota sebagai pusat berbagai aktivitas. Kota menjadi pusat pemerintahan, industri, bisnis, perdagangan, sekolah, permukiman dan lain sebagainya. Oleh karena itu, lingkungan kota harus memiliki kualitas yang baik, agar daya dukungnya tinggi sehingga mampu menunjang berbagai aktivitas tersebut.

Permasalahan lingkungan kini melanda perkotaan dan masyarakat kota. Pencemaran udara, timbulnya efek rumah kaca, makin panasnya udara kota, banjir, kekeringan dan lain-lain membuat kota makin tidak nyaman bagi penghuninya. Hal ini sangat ironis dimana kota sangat diandalkan sebagai lahan subur dalam meraup penghasilan, baik bagi masyarakat asli maupun para pendatang.

Peningkatan penghuni kota, peningkatan industri dan aktifitas lainnya, seperti peningkatan pemakaian kendaraan bermotor telah memicu pencemaran udara dan air tanah di perkotaan. Udara kota yang tercemar oleh berbagai polusi menyebabkan ketidak nyamanan dalam beraktifitas dan berusaha. Demikian pula dengan pencemaran air tanah, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Semburan asap kendaraan bermotor di sejumlah kota besar menyumbang berton-ton polutan berupa debu, timbal (Pb), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan lainnya ke atmosfer, yang siap dihirup hidung siapa pun. Dampaknya tak main-main. Memicu penyakit saluran pernapasan, jantung, mata, darah tinggi, hingga menimbulkan kematian. Bahkan, tak mustahil dapat melahirkan fenomena hujan asam yang merusak alam.

Idealnya, udara bersih dan layak irup terdiri atas N2 (78%), O2 (21%), H2, dan unsur lain (0,1%). Namun kenyataannya, udara kita dipenuhi partikulat dan senyawa beracun yang sangat berbahaya. Pada pertengahan tahun 2005, Bappedaldasu menginformasikan tingginya kandungan zat-zat pencemar di beberapa ruas jalan di Kota Medan.

Di antara debu (TSP/Total Suspended Particulate), CO, sulfur dioksida (SO2), NOx, dan ozon (O3), debu merupakan polutan paling berbahaya. Untuk ukuran di atas 50 mikron, ia masih kasat mata, tersaring oleh bulu hidung. Tapi debu di bawah 10 mikron tak terlihat mata. Bahkan, ia bisa langsung menyusup ke paru-paru, mengganggu sistem pernapasan.

Kota-kota yang hanya maju secara ekonomi, namun tidak memperhatikan aspek ekologi, harus dibayar mahal. Untuk merasakan dan menikmati udara yang sejuk dan nyaman, maka rumah dan kantor mesti dipasang AC, padahal penggunaan AC akan menyebabkan udara di luar akan semakin panas dan tentu meningkatkan penggunaan listrik yang semakin terbatas. Untuk mengatasi kekurangan air, karena air tanah sudah tercemar limbah, maka air harus didatangkan dari luar daerah. Untuk mengatasi pencemaran air harus dipasang pengolah air limbah. Selanjutnya, agar dapat menikmati kesegaran dan kesejukan lingkungan alam, maka harus pergi ke luar kota. Tentu itu semua harus dibayar yang tidak mungkin dinikmati oleh orang-orang yang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja sudah susah.

Pembangunan kota yang kurang memperhatikan aspek ekologis menjadikan kota menjadi penuh oleh polusi, kotor dan sakit atau gheto. Kota yang demikian dijuluki sebagai miserapolis atau cacopolis. Konon, menurut Dahlan (2004), pindahnya ibukota negara India ke New Delhi, karena kota Delhi (lama) telah tidak layak lagi dijadikan ibukota negara.

Pada kota yang sakit, misalnya kota yang tercemar timbal (Pb) yang dihasilkan dari kendaran bermotor dengan BBM bertimbal, akan mengancam pertumbuhan anak-anak mengingat anak-anak merupakan kelompok yang rentan terkena pencemaran timbal dalam darah. Timbal dihasilkan dari kendaraan bermotor dengan bahan bakar bertimbal. Bermacam hambatan pertumbuhan mengancam mereka yang memiliki kandungan timbal dalam darah yang di atas batas normal. Hal tersebut akan memicu anemia, gangguan pertumbuhan fisik, menurunkan tingkat kecerdasan, hingga tidak mampu mendengar pada frekuensi-frekuensi tertentu. Tentu hal ini akan sangat mengganggu proses menimba ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang bisa diharapkan dari mereka, jika mereka sakit dan loyo?

Kandungan timbal dalam darah sedikit banyak mempengaruhi kesuburan wanita dewasa. Pada ibu yang mengandung, timbal yang terserap dan ditimbun dalam tulang diremobilisasi dan masuk peredaran darah. Lalu, mengalir ke janin dan menghambat perkembangan otak dan intelengensia janin.

Pada kota yang tercemar timbal, juga sangat berpengaruh pada pelaku ekonomi. Masyarakat menjadi tidak sabaran, mudah emosi dan brutal, sehingga tidak produktif. Pejabat pemerintah pun demikian. Mereka kurang dapat mengambil keputusan dengan baik. Padahal keputusan mereka, golongan yudikatif, eksekutif dan legislatif sangat menentukan tegak dan runtuhnya negara. Oleh sebab itu, nilai kualitas lingkungan kota akan sangat menentukan kuatnya negara dan masa depan bangsa. Bukankah ini merupakan biaya ekonomi yang amat sangat mahal harganya, jika kerusakan lingkungan kota dibiarkan terjadi.

Gas CO yang dihasilkan dari pembakaran mesin yang tidak sempurna merupakan racun bagi manusia dan memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif. Gas CO yang gentayangan di udara bebas bila terhirup akan mengikat haemoglobine darah. Hal ini akan menyebabkan pasokan O2 dalam darah minus. CO dalam darah (COHb) menimbulkan beragam gangguan, tergantung kadarnya. Gas ini bisa menaikkan aliran darah (sehingga emosi pun terpicu). Kadar COHb 10-20% menimbulkan sakit kepala, gangguan napas, bahkan kematian janin. Pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi, ia membuat pelipis berdenyut dan muntah-muntah; lebih gawat lagi penderita merasa lemah, atau sakit kepala dan pingsan, bahkan collaps, koma. CoHb kadar amat tinggi menyebabkan depresi pernapasan jantung. Yang paling fatal kalau kadarnya 70- 80%.

Itu baru akibat tercemar Pb dan CO. Padahal sangat banyak unsur polutan yang mencemari kota dan jika tidak ditangani dengan baik, maka jumlah dan konsentrasinya akan semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Sehingga, hal ini akan mengancam produktivitas manusia dan pada akhirnya akan menjadi ancaman serius bagi hidup dan kehidupan manusia.

Manusia modern abad ini, secara sadar atau pun tidak telah menjauh-sisihkan hutan. Pembabatan hutan secara serampangan, baik tebangan legal mapun haram (illegal) telah menyebabkan laju kerusakan hutan dari tahun ketahun terus meningkat. Jika sebelum tahun 2000, laju kerusakan hutan Indonesia berkisar antara 1,6-2,0 juta ha/tahun, namun saat ini laju kerusakannya mencapai 2,8 juta ha/tahun. Kerusakan tersebut awal bencana yang datang silih berganti, seperti banjir bandang waktu penghujan dan kekeringan di musim kemarau serta berbagai bencana lainnya dengan memakan korban.

Sebagian manusia telah lupa bahwa hutan yang selama ini dibutuhkan dalam hidup dan kehidupannya, kini ditinggalkan bahkan dirusak. Lahan berhutan dibabat habis dan dibuka dijadikan kawasan permukiman dan areal terbangun lainnya. Kemajuan kebudayaan manusia telah menjadikan lingkungan hidupnya yang semula berhutan kini menjadi hutan besi dan beton. Kota yang semula nyaman untuk dihuni karena sejuk, asri, tenang dan bersih terbebas dari polusi akhir-nya berubah menjadi kota yang panas, tercemar dan gersang. Beberapa gejala mundurnya kualitas lingkungan kota antara lain: penurunan air tanah, banjir, penurunan permukaan tanah, abrasi pantai, intrusi air laut, meningkatnya kebisingan serta pencemaran udara, tanah dan air.

Oleh karena itu, penataan lingkungan perkotaan harus segera dilakukan untuk meminimalkan gangguan dan ancaman akibat kerusakan lingkungan kota dan secara sekaligus untuk menunjang produktivits kerja. Salah satu program untuk meningkatkan mutu lingkungan yang akan berdampak pada kualitas hidup adalah pengembangan hutan kota atau kadangkala disebut penghijauan kota.

Hutan kota

Sejarah pengembangan penghijauan berawal sejak pemerintahan kolonial Belanda. Di beberapa kota besar di Pulau Jawa seperti Bandung, Jakarta, Bogor, Solo, Yogyakarta, Magelang, Malang dan Surabaya masih dapat dilihat sisa-sisa penghijauan yang dilakukan. Jalan raya, pusat perkantoran, tempat umum telah ditanami pohon penghijauan seperti beringin, flamboyan, trembesi, asem, palem raja ataupun mahoni.

Kawasan penghijauan merupakan kawasan yang ditumbuhi oleh tanaman baik berupa pohon, semak maupun perdu yang terdapat di dalam maupun pinggiran kota untuk menyangga dampak lingkungan akibat aktivitas di daerah perkotaan. Hutan kota tidak mutlak merupakan daerah yang kompak dengan luas yang besar, tetapi termasuk juga daerah yang terpisah pisah. Oleh karena itu bentuk hutan kota sangat fleksibel tergantung kebutuhan dan aktivitas masyarakat di daerah tersebut. Bentuk-bentuk hutan kota dapat berupa boulevar, pohon peneduh pinggir jalan, taman kota. Tanaman dipinggiran sungai yang melintasi kota, tanaman di kawasan pabrik, taman di tengah jalan dan lain sebagainya.

Hutan Kota dapat menyerap dan menjerap kontaminan udara, mereduksi kebisingan, menyejukkan suhu udara kota, meningkatkan air tanah, menyerap gas CO2 dan menghasilkan oksigen serta berbagai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial lainnya, maka kota khususnya kota-kota besar sangat perlu untuk dilengkapi dengan  Hutan Kota yang cukup luas. Program pembangunan dan pengembangan Hutan Kota diperlukan karena alasan.

1.  Hutan Kota memiliki biomassa lebih banyak daripada taman, sehingga dapat menjerap dan menyerap polutan lebih banyak. Hasil penelitian Puslitbang PU membuktikan adanya korelasi yang erat antara volume kerimbunan daun dan jarak tanam pepohonan dengan penurunan NOx.

2.  Hutan dapat menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen lebih banyak.

3.  Hutan dengan dedaunannya yang lebat dan pohonnya yang tinggi dapat mengurangi kebisingan lebih baik.

4.  Hutan dapat digunakan sebagai penahan angin (wind break). Angin yang sangat kencang dapat membahayakan bagi manusia dan lingkungannya. Dengan adanya pepohonan maka angin dapat diatur dengan cara dihalangi, dibelokkan, disalurkan dan disaring.

5.  Hutan dapat mengurangi bahaya hujan asam.

6.  Mikro-organisme yang terdapat pada humus di lantai hutan dapat  menyerap gas CO (karbon-monoksida).

7.  Hutan dapat mencegah aliran udara yang berbau dan menggantinya dengan udara yang lebih bersih dan harum, jika tanaman yang ditanam adalah jenis yang bunganya berbau harum seperti: Cempaka, Kenanga dan Tanjung.

8.  Hutan kota dapat dimanfaatkan sebagai asset untuk perdagangan karbon (carbon trade) mengingat kemampuannya dalam menyerap dan mengakumulasikan karbon dalam biomassanya.

Hutan kota dengan tajuk pohonnya menciptakan suasana yang sejuk pada lingkungan perkotaan di siang hari, karena dapat menahan radiasi matahari dan menyerap radiasi balik dari jalan aspal, gedung-gedung, jembatan layang, papan reklame dan lainnya. Saya sangat yakin, bahwa kita bisa merasakan itu semua. Saat siang hari dengan matahari penuh, kondisi udara di bawah pohon yang rindang sangat nyaman. Udara dibawah pohon tersebut akan terasa lebih teduh, sejuk dan lembab. Lebih teduh karena intensitas cahaya matahari langsung sebagian besar tidak dapat menembus kanopi pohon tersebut. Lebih sejuk karena berkurangnya masukan energi cahaya untuk memanaskan udara dan permukaan di bawah kanopi.

Dengan kehadiran pepohonan di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, pada malam hari udara tidak terlalu dingin karena pepohonan berperan sebagai penahan panas, sehingga udara dibawah tajuknya akan lebih hangat dibandingkan suhu udara di atas permukan terbuka (tanpa tanaman). Tajuk tanaman akan menyerap sebagian energi yang dipancarkan oleh permukaan tanah; sedangkan jika tanpa pepohonan radiasi yang dipancarkan dari permukaan tanah tersebut, akan langsung hilang ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Dengan demikian, pada daerah yang duteduhi pepehonan, fluktusi udara antara siang dan malam hari sangat kecil atau mendekati stabil, sehingga nyaman bagi manusia.

Selain berbagai kenyataaan yang kita rasakan tersebut, berbagai hasil penelitian juga melaporkan bahwa suhu udara pada lokasi dengan jalur hijau lebih rendah dari pada di lokasi tanpa jalur hijau, mengingat pada daerah yang ditumbuhi pepohonan, sinar matahari tidak secara langsung mencapai permukaan tanah karena terhalang tajuk pohon. Sinar matahari yang jatuh pada tajuk tanaman ada yang diteruskan, dipantulkan dan diserap oleh tanaman. Untuk sinar matahari yang diteruskan oleh daun ke permukaan tanah, berkurang energinya sehingga udara pada permukaan tanah lebih rendah.

Fungsi Penurunan Zat Polutan

Hasil penelitian Dahlan (1989), Fakuara dkk (1990) menunjukkan bahwa pohon damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecelobium dulce), johar (Cassia siamea) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa tanaman glodogan (Polyalthea longifolia), keben (Baringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap timbal rendah namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemaran udara. Namun tanaman daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba (Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemaran yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.

Selanjutnya hasil penlitian Irawati (1991) memperlihatkan bahwa pohon mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti merah, kere payung dan payung hitam memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemaran debu semen serta kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi) debu semen. Namun pohon-pohon duwet, medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai tanman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka terhadap debu semen, juga memiliki kemampuan yang rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen.

Bidwell dan Fraser mengemukakan, kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas ini karbon monoksida sebesar 12 – 120 kg/km2/hari. Mikroorganisme serta tanah pada lantai hutan memiliki peranan yang baik dalam menyerap gas karbonmonoksida (Bennet dan Hill, 1973). Inman dkk mengemukakan, tanah dengan mikroorganismrnya dapat menyerap gas karbonmonoksida dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 mg/m3)  menjadi hampir mendekati nol hanya dalam waktu 3 jam saja.

Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah: damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benyamina).

Strategi Pembagunan Hutan Kota

Strategi umum dalam pembangunan hutan kota adalah dengan memperhatikan tujuan pemulihan lingkungan dan zat-zat polutan, baik yang aktual saat ini ada atau yang diperkirakan akan muncul dan mencemari lingkungan kota di masa mendatang. Lalu, kemudian dipilih jenis-jenis pepohonan yang mampu mereduksi zat-zat polutan tersebut sampai pada ambang batas yang aman. Agar diperoleh fungsi pengelolaan lingkungan yang maksimal, dalam pembangunan hutan kota secara ringkas harus memperhatikan:

1.      Tanaman harus dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dapat diperoleh jika jenis tanaman yang dipilih sesuai dengan kondisi iklim dan tanah setempat.

2.      Tanaman yang dipilih harus sesuai dengan issu lingkungan yang telah muncul atau yang diperkirakan akan muncul di masa yang akan datang.

3.      Tanaman harus dapat dipadu-padankan dengan elemen keras: gedung, jembatan, menara, patung atau elemen keras lainnya agar diperoleh komposisi yang indah dan menawan.  Oleh karena itu, perlu tata kota yang baik dan konsisten dilaksanakan.

 

Penutup

Menghadirkan udara bersih, nyaman dan sehat perlu dukungan semua pihak, namun harus dimulai dan tidak saling tunggu. Karena, sesungguhnya langit bersih bukan tanggung jawab satu pihak, misalnya pemerintah saja, namun tanggung jawab kita semua, sehingga masing-masing kita wajib berperan serta.

Keberadaan pepohonan dalam wujud hutan kota, selain mampu mempercantik dan memperindah kota, juga mampu mereduksi berbagai zat polutan yang dihasilkan dari berbagai aktifitas manusia, sehingga pada akhirnya kehadiran hutan kota akan mampu meningkatkan kualitas hidup dan produktifitas penghuninya.

Selain pembangunan hutan kota, hidup ramah lingkungan harus terus dibudayakan, mulai dari skala pribadi sampai skala negara. Salah satu tindakan yang bisa dilakukan adalah mengendalikan sumber pencemar, misalnya berhentilah menggunakan BBM bertimbal. Pemerintah sudah mencanangkan program tersebut tahun 2001 dengan pelenyapan premium di Jabodetabek, kemudian tahun 2002 targetnya seluruh pulau Jawa, dan tahun 2003 untuk seluruh Indonesia. Selain itu, penggunaan bahan bakar hayati (BBH) yang berasal dari berbagai tumbuhan harus terus didorong secara kongkrit, karena selain tidak mencemari udara, juga merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharuhi dan sekaligus membuka lapangan kerja.

Read Full Post »

Older Posts »