PERANAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MENUNJANG KEHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR
Onrizal
Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU dan Departemen Kehutanan USU
HP. +62-81314769742
Disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Mangrove Bagi Masyarakat Pesisir yang diselenggarakan oleh Sub-Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat, Maret 2008
Hutan mangrove saat ini menjadi trend perbincangan, terutama setelah bencana tsunami di akhir tahun 2004 menelan ratusan ribu korban dan kehancuran sebagian besar pesisir pantai. Namun demikian, pada daerah pantai yag memiliki hutan mangrove lebat dampak tsunami sangat minim atau tidak membahayakan, seperti yang dijumpai di pantai utara Nias (Onrizal, 2005), beberapa pesisir barat pantai Aceh Selatan (WIIP, 2005), dan berbagai pesisir pantai Asia dan Afrika bagian Timur (Dahdouh-Guebas, 2005).
Sebelumnya banyak yang menganggap hutan mangrove seperti lahan terlantar yang tidak bermanfaat. Oleh karenanya lebih baik dikonversi menjadi areal tambak, perkebunan (kelapa sawit), misalnya, yang jelas hitungan keuntungannya. Praktek konversi mangrove yang umum dilakukan adalah menebang habis pepohonan mangrove sampai ke pinggir pantai. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tambak yang diusahakan dengan menebang habis hutan mangrove hanya produktif selama 3-4 tahun awal saja, setelahnya sudah tidak menguntungkan sehingga kemudian areal tersebut ditinggalkan begitu saja. Dampak kondisi ini adalah meningkatnya abrasi pantai, instrusi air laut dan berbagai dampak lainnya kerena pelindung alami pantai yang berupa tegakan hutan mangrove hilang. Kasus abrasi di pantai utara Jawa, pantai selatan Lampung merupakan bukti nyatanya, dimana pantai hilang dengan lebar lebih dari 10 m. Bisa dibayangkan luasnya pantai yang hilang atau pulau-pulau kecil, misalnya pulau Tapak Kuda di Langkat. Kondisi yang sama juga terjadi di sebagian besar pantai Aceh dan Sumatera Utara. Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 6 tahun, yakni dalam periode 1993 – 1999, sekitar 97% hutan mangrove di Aceh dan 27% hutan mangrove di Sumutera Utara hilang dan rusak.
Lalu, pertanyaannya adalah pengelolaan hutan mangrove yang bagaimana yang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan?
Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer (primary biotic component). Sebelum membicarakan pemanfaatan secara lestari, akan terlebih dahulu digambarkan berbagai fungsi mangrove, lalu bentuk-bentuk pemanfaatan ril di lapangan apa adanya, kemudian baru bentuk pemanfaatannya yang lestari.
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomis, dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangrove bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis flora dan fauna yang hidup di dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove. Para ahli antara lain, Harger (1982), Hamilton & Snedaker (1984), Naamin (1990), Odum et al. (1982), dan Snedaker (1978) sependapat bahwa hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik, dengan berbagai macam fungsi, yaitu fungsi fisik, biologi, dan fungsi ekonomi atau produksi.
A. Fungsi Mangrove
A1. Fungsi fisik
Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah limbah organik, dan sebagainya.
Hutan mangrove mampu meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto et al. (2003). Pratikto et al. (2002) melaporkan bahwa di Teluk Grajagan – Banyuwangi yang memiliki tinggi gelombang tersebut sebesar 1,09 m, dan energi gelombang sebesar 1493,33 Joule, maka ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mereduksi energi gelombang sampai 60%, sehingga keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil gelombang tsunami yang menyerang daerah pantai.
Istiyanto, Utomo dan Suranto (2003) menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan dalam pertimbangan awal bagi perencanaan penanaman hutan mangrove bagi peredaman penjalaran gelombang tsunami di pantai.
Pasca tsunami 26 Desember 2004 yang melanda Asia dengan pusat di pantai barat Aceh terdapat fakta bahwa hutan mangrove yang kompak mampu melindungi pantai dari kerusakan akibat tsunami (Istiyanto et al., 2003, Pratikto et al. 2002, Dahdouh-Guebas, 2005, Onrizal, 2005, Sharma, 2005). Demikian juga hal sama dijumpai pada kawasan pantai dengan hutan pantai yang baik mampu meredam dampak kerusakan tsunami (WIIP, 2005)
Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu (Darmiyati et al., 1995), dan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm (Saepulloh, 1995). Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan Hilmi (1998), yakni percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan.
A2. Fungsi biologis
Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.
Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).
Kerusakan mangrove di pantai Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (56,32% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap). Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara dilaporkan Amala (2004) menyebabkan berkurangnya secara nyara kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata). Hasil penelitian Onrizal et al. (2008) menunjukkan bahwa semakin bertambah umur mangrove hasil rehabilitasi akan meningkatkan populasi dan keragaman biota pesisir pantai.
A3. Fungsi ekonomi atau fungsi produksi
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.
Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan.
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik.
Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove.
B. Manfaat Mangrove
Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer (primary biotic component), sebagai berikut :
B1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan.
a. Lahan tambak, lahan pertanian dan kolam garam
Di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, kawasan pantai Kalimantan, pantai Sulawesi, Bali, Nusa Tenggra dan pulau-pulau lainnya, banyak lahan mangrove dikonversi untuk lahan tambak, lahan pertanian dan kolam pembuatan garam. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengkonversian lahan mangrove menjadi jenis penggunaan lain seperti tersebut di atas dilakukan dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian ekosistem.
Sebenarnya dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa dikonversi menjadi jenis penggunaan lain dalam proporsi dan pada lokasi yang tepat sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhnya mangrove dan persyaratan kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang direkomendasikan.
b. Lahan pariwisata
Beberapa potensi ekosistem mangrove yang merupakan modal penting bagi tujuan rekreasi adalah :
(1) Bentuk perakaran yang khas umum ditemukan pada beberapa jenis pohon mangrove, seperti akar tunjang (Rhizophora spp.), akar lutut (Bruguiera spp.), akar pasak (Sonneratia spp. dan Avicennia spp.), akar papan (Heritiera spp.), dan lain-lain.
(2) Buahnya yang bersifat vivipar (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang diperlihatkan oleh beberapa jenis pohon mangrove, seperti jenis-jenis yang tergolong suku Rhizophoraceae.
(3) Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi dengan hutan rawa).
(4) Berbagai jenis fauna dan flora yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, dimana jenis fauna dan flora tersebut kadang-kadang jenis endemik bagi daerah yang bersangkutan.
(5) Atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove.
(6) Saat ini, nampaknya hutan-hutan mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan/tambak tumpangsari, penebangan, pembuatan garam, dan lain-lain bisa menarik para wisatawan.
Bentuk-bentuk kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan di hutan mangrove adalah berburu, memancing, berlayar, berenang, melihat atraksi berbagai satwa, fotografi, piknik dan berkemah, melihat atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat, dan lain-lain.
B2. Tingkat komponen ekosistem sebagai komponen biotik primer
a. Flora
Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat digunakan sebagai :
· Chips untuk bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp.
· Penghasil industri papan dan plywood, terutama jenis Bruguiera spp. dan Heritiera littoralis.
· Tongkat dan tiang pancang (scalfold) terutama jenis Bruguiera spp., Ceriops spp., Oncosperma sp., dan Rhizophora apiculata.
· Kayu bakar dan arang yang berkualitas sangat baik.
Sudah sejak lama, berbagai jenis tumbuhan mangrove dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat lokal seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa jenis tumbuhan mangrove yang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat lokal
No.
|
Jenis
|
Kegunaan
|
1.
|
Acanthus ilicifolius
|
Buah yang dihancurkan dalam air dapat digunakan untuk membantu menghentikan darah yang keluar dari luka dan mengobati luka karena gigitan ular.
|
2.
|
Acrostichum aureum
|
Bagian tanaman yang masih muda dapat dimakan mentah atau dimasak sebagai sayuran.
|
3.
|
Aegiceras corniculatum
|
Kulit dan bijinya untuk membuat racun ikan.
|
|
Acanthus ilicifolius &
A. embrathatus
|
Mandi dengan memakai air ekstraksi rebusan kulit batang dan akar dapat mengurangi simpton dingin, mengobati alergi pada kulit dan penyakit. Jika diminum dapat menyembuhkan gejala penyakit sipilis. Gilingan kulit batang segar yang dibalurkan pada luka bernanah akan mempercepat proses penyembuhan. Jika dicampur dengan jahe, hasil gilingannya dapat dipakai secara lokal untuk mengobati infeksi pada mata dan malaria. Jika digiling bersama kunyit dan gula tebu, dapat dipakai untuk ambien. Jika digiling dengan madu serta licorice (Glycyrrhiza glabra), diminum akan menghilangkan sakit punggung
|
4.
|
A. alba &
A. officinalis
|
Kayu gubalnya agak asin bisa mengembalikan vitalitas seseorang. Umumnya bila direbus bersama kayu gubal Cassia dan ekstraknya diminum berguna memperlancar darah menstruasi.
|
5.
|
Avicennia alba
|
Daun yang masih muda dapat untuk makanan ternak, bijinya dapat dimakan jika direbus, kulitnya untuk obat tradisional (astringent), zat semacam resin yang dikeluarkan bermanfaat dalam usaha mencegah kehamilan, salep yang dicampur cara membuatnya dengan biji tumbuhan ini sangat baik untuk mengobati luka penyakit cacar, bijinya sangat beracun sehingga harus hati-hati dalam memanfaatkannya.
|
6.
|
A. marina
|
Daun yang muda dapat dimakan/disayur, polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu yang diternakkan, abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam pembuatan sabun cuci.
|
7.
|
A. officinalis
|
Biji dapat dimakan sesudah dicuci dan direbus.
|
8.
|
Bruguiera gymnorrhiza
|
Kayunya sangat berguna dalam industri arang/kayu bakar dan tanin, kulit batang yang masih muda dapat untuk menambah rasa sedap ikan yang masih segar.
|
9.
|
B. parviflora
|
Kayunya untuk arang dan kayu bakar.
|
10.
|
B. sexangula
|
Daun muda, embrio buah, buluh akar dapat dimakan sebagai sayuran, daunnya mengandung alkaloid yang dapat dipakai untuk mengobati tumor kulit, akarnya untuk kayu menyan, buahnya untuk campuran obat cuci mata tradisional.
|
11.
|
Ceriops tagal
|
Kulit batang baik sekali untuk mewarnai dan sebagai bahan pengawet/penguat jala-jala ikan dan juga untuk industri batik, kayunya baik untuk industri kayu lapis (plywood). Kulit batang digunakan sebagai astrigen, namun kurang disukai. Hasil ekstraksi diminum dapat menghentikan diare, anti muntah dan anti beberapa penyakit disentri.
|
|
Clerodendron inerme
|
Air ekstraksi daunnya digunakan untuk membasuh kulit yang diserang parasit. Gilingan daun kering akan melindungi luka dari infeksi. Daun yang direndam dalam spiritus panas dapat mengurangi bengkak bila ditempelkan. Air ekstraksi akar kering terasa pahit dan dapat digunakan untuk mengobati dingin, hepatitis, kanker hati dan luka memar.
|
12.
|
Derris trifoliana
|
Batang, akar dan daun dapat berfungsi sebagai perangsang untuk kontipasi dan mengurangi cairan pada saluran pernapasan serta dapat mengurangi pengaruh malnutrisi pada anak-anak.
|
13.
|
Excoecaria agallocha
|
Getahnya beracun dan dapat dipakai untuk meracuni ikan. Asap hasil pembakaran kayu dipakai untuk mengobati lepra. Kayu gubal untuk anti perut kembung dan mucolulitic. Tepung dalam keadaan basah dapat dibalurkan pada kulit untuk menurunkan panas dan mengurangi bengkak. Ekstraksi daun yang diminum dapat mengurangi gejala epilepsi
|
14.
|
Heritiera littoralis
|
Kayunya baik untuk industri papan, air buahnya beracun dan dapat untuk meracuni ikan.
|
15.
|
Hibiscus tiliaceus
|
Bunga segar direbus dengan susu segar dan dipakai ketika dingin untuk membersihkan infeksi pada telinga.
|
16.
|
Lumnitzera racemosa
|
Rebusan daunnya untuk obat sariawan.
|
17.
|
Nypa fruticans
|
Daun untuk atap rumah, dinding, topi, bahan baku kertas, keranjang dan pembungkus sigaret, nira untuk minuman dan alkohol, biji untuk ”jely” dan sebagai kolang-kaling, dan pelepah yang dibakar untuk menghasilkan garam.
|
18.
|
Oncosperma tigillaria
|
Batangnya untuk pancang rumah, umbut untuk sayuran, bunganya untuk menambah rasa sedap nasi.
|
19.
|
Rhizophora apiculata
|
Kayunya untuk kayu bakar, arang, chips dan kayu konstruksi.
|
|
20.
|
R. apiculata &
R. mucronata
|
Air rebusan kulit batang dipakai untuk astrigen, anti-diare dan anti muntah. Kulit batang yang sudah dilumatkan bila ditempelkan pada luka baru dapat menghentikan pendarahan luka. Gilingan daun muda yang dikunyah berfungsi untuk menghentikan pendarahan (hoemostatic) dan antiseptik.
|
|
21.
|
R. mucronata
|
Kayunya untuk arang/kayu bakar dan chips. Air buah dan kulit akar yang muda dapat dipakai untuk mengusir nyamuk dari tubuh/badan.
|
|
22.
|
Sonneratia caseolaris
|
Buahnya dapat dimakan, cairan buah untuk menghaluskan kulit, daunnya untuk makanan kambing dan menghasilkan pektin.
|
|
|
Thespesia populnea
|
Kudis dapat diobati dengan menempelkan gilingan buah dan daunnya pada tempat yang sakit. Ekstrak kulit batang dipakai untuk membersihkan luka yang sudah kronis. Akar muda digunakan sebagai tonik.
|
|
23.
|
Xylocarpus granatum &
X. mollucensis
|
Bijinya diminum untuk menyembuhkan diare dan kolera. Air ekstraknya dapat dipakai untuk membasuh luka
|
|
24.
|
X. moluccensis
|
Kayunya baik sekali untuk papan, akar-akarnya dapat dipakai sebagai bahan dasar kerajinan tangan (hiasan dinding, dll), kulitnya untuk obat tradisional (diarhoea), buahnya mengeluarkan minyak yang dapat dipakai untuk minyak rambut tradisional.
|
|
b. Fauna
Sebagian besar jenis fauna mangrove yang berpotensi dimanfaatkan oleh masyarakat adalah berupa berbagai jenis ikan, kepiting dan burung.
b.1. Ikan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ada lebih dari sekitar 52 jenis ikan yang hidup di habitat mangrove Indonesia. Dari berbagai jenis ikan tersebut ada enam jenis yang umum diketemukan, yaitu Mullet (Mugil cephalus), Snapper (anggota Lutjanidae), Milkfish (Chanos chanos), seabass (Lates calcarifer), Tilapia (Tillapia sp.), Mudskipper (Periothalmus spp.)
b.2. Udang dan kepiting
Ada sekitar 61 jenis udang dan kepiting yang hidup di habitat mangrove Indonesia, diantaranya jenis-jenis yang umum diketemukan di habitat tersebut, adalah : Uca spp. (fiddler crab), Sesarma spp., Scylla serata, Macrobrachium rosenbergii, Penaeus spp. Jenis udang, bandeng dan kepiting biasanya dibudidayakan oleh masyarakat dalam bentuk tambak, sedangkan jenis-jenis ikan lainnya dan Crustaceae serta moluska diperoleh oleh masyarakat melalui penangkapan.
b.3. Burung
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai lokasi dilaporkan bahwa ada sekitar 51 jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove, diantaranya yang umum ditemukan adalah pecuk (Anhinga sp. dan Phalacocorax sp.), cangak dan blekok (Ardea sp.), bangau/kuntul (Egretta sp. dan Leotoptilos sp.). Masyarakat sekitar mangrove pada waktu-waktu tertentu berburu burung dan memungut telur burung untuk bahan makanan atau untuk dijual, seperti yang terjadi di hutan mangrove Pulau Rambut (Departemen Kehutanan, 1994), Karang Gading dan Langkat (Hanafiah-Oeliem et al. 2000). Hal yang sama juga penulis temui di berbagai kawasan mangrove seperti di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua dan pulau-pulau lainnya.
b.4. Lebah madu
Hutan mangrove merupakan salah satu tempat bersarang yang baik bagi lebah madu, sehingga mangrove sangat potensial untuk menghasilkan madu. Umumnya, lebah madu membuat sarang pada pohon Avicennia spp, Ceriops spp., dan Excoecaria agallocha. Dengan adanya lebah madu membuat sarang di pohon-pohon mangrove akan sangat menguntungkan bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove, yakni dapat memungut madu. Selain memungut madu dari alam dari alam, masyarakat juga bisa mendapatkannya dengan beternak lebah madu.
Berdasarkan kegunaan produk yang dihasilkannya maka produk-produk ekosistem mangrove dikelompokkan menjadi dua yaitu : produk langsung (Tabel 2) dan produk tidak langsung (Tabel 3). Beberapa produk mangrove yang saat ini sudah diusahakan secara meluas dan komersial adalah sebagai berikut :
(a) Arang
Arang digunakan secara tradisional untuk memasak sehari-hari. Di beberapa negara berkembang arang tersebut telah diusahakan secara komersial dan diekspor, contoh : Rhizophora mucronata dan Rh. apiculata (nilai kalori kayu 7.300 kal/g).
(b) Kayu Bakar
Kayu bakar dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di sekitar pesisir untuk keperluan sehari-hari, contoh : Ceriops, Avicennia, Xylocarpus, Heritiera, Excoecaria, Bruguiera dan Lumnitzera .
(c) Ekstraksi Tanin
Tanin adalah produk hutan mangrove yang dapat dipakai untuk keperluan pabrik tinta, plastik dan lem. Selain itu juga tanin digunakan untuk mencelup jala ikan dan menyamak bahan dari kulit, contoh : kulit batang Rhizophora (kandungan tanin 27 %), Bruguiera gymnorrhiza (kandungan tanin 41 %), dan Ceriops tagal (kandungan tanin 46 %).
(d) Destilasi Kayu
Kegiatan destilasi kayu umumnya dilakukan di negara Thailand, alat destilasinya terdapat di Ranong, pesisir barat Thailand. Bahan mentah destilasi ini diperoleh dari lubang-lubang angin alat pembakaran arang. Bahan mentah destilasi ini mengandung pyroligneous yang bisa dipecah menjadi asam asetat, metanol dan tar dengan perbandingan 5.5 %, 3.4 % dan 6.6 % berturut-turut.
(e) Kayu Chips
Kayu chips ini merupakan bahan baku untuk pembuatan rayon, negara yang membuat kayu chips dari mangrove adalah Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina dengan tujuan ekspor terutama ke Jepang.
3. Pemafaatan Mangrove yang Lestari
Secara garis besar minimal ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang lestari yang dapat dilakukan oleh masyarakat yaitu (a) tambak tumpangsari, (b) hutan rakyat, (c) budaya mangrove untuk mendapatkan hasil hutan selain kayu, dan (d) bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan.
Jenis Kegunaan
|
Produk
|
Bahan Bakar
|
Kayu bakar untuk memasak, memanggang ikan, memanaskan lembaran karet, memanaskan batu bata, arang, alkohol
|
Konstruksi
|
Kayu untuk tangga, konstruksi berat (misal jembatan), penjepit rel kereta api, tiang penyangga terowongan pertambangan, tiang pancang geladak, tiang dan galah untuk bangunan, bahan untuk lantai, material untuk membuat kapal, pagar, pipa air, serpihan kayu, lem
|
Memancing
|
Pancing untuk menangkap ikan, pelampung pancing, racun ikan, bahan untuk pemeliharaan ikan, bahan untuk pemeliharaan jaring, tempat berlindung bagi ikan-ikan
|
Pertanian
|
Makanan ternak, pupuk hijau
|
Produksi tekstil dan kulit
|
Serat sintetik, bahan pencelup pakaian, bahan untuk penyamak kulit
|
Produksi kertas, makanan,
|
Berbagai jenis kertas, gula, alkohol
|
minuman dan obat-obatan
|
|
Produk Agroindustri
|
Minyak goreng, cuka, pengganti teh, minuman fermentasi, pelapis permukaan, rempah-rempah dari kulit kayu, daging dari propagul, sayur-sayuran, buah atau daun, pembalut rokok, bahan obat-obatan dari kulit, daun dan buah
|
Peralatan rumah tangga
|
Perabot, perekat, minyak rambut, kerajinan tangan, penumbuk padi, mainan, batang korek api, kemenyan
|
Lain-lain
|
Pengepakan / Pengemasan
|
Sumber : Hamilton & Snedaker (1984)
Tabel 3. Produk tidak langsung dari ekosistem mangrove
Sumber
|
Produk
|
Finfish (berbagai jenis spesies)
|
Makanan
|
|
Pupuk
|
Crustacea (udang, kepiting)
|
Makanan
|
Mollusca (tiram, remis)
|
Makanan
|
Lebah
|
Madu, Lilin
|
Burung
|
Makanan
|
|
Bulu
|
|
Rekreasi (watching, berburu)
|
Mamalia
|
Makanan
|
|
Kulit berbulu (fur)
|
|
Rekreasi (watching, berburu)
|
Reptil
|
Kulit
|
|
Makanan
|
Fauna lainnya (amfibi, serangga)
|
Makanan
Rekreasi
|
Sumber : Hamilton & Snedaker (1984)
A. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari (sylvofishery) ini merupakan unit tambak yang didalamnya mengkombinasikan bagian lahan untuk pemeliharaan ikan/kepiting dan bagian lahan untuk penanaman mangrove. Sampai saat ini dikenal 5 macam model tambak tumpangsari, yaitu model empang tradisional, model komplangan, model empang terbuka, model kaokao dan model tasik rejo. Sistem tambak tumpangsari ini, sebagaimana dilaporkan oleh Quarto (1996, 2000), Fitzgerald (2000) sudah banyak diterapkan diberbagai negara dan merupakan alternatif pengelolaan mangrove yang lestari. Sebagai gambaran, beberapa model sistem tambak tumpangsari disajikan pada Gambar 1.
Perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove yang masih utuh , baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah milik. Perbandingan ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang. Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan mangrove yang berada di luar kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan lain. Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa meninggalkan aspek kelestariannya.
Selain model tambak tumpangsari, terdapat tambak terbuka yang merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.
B. Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan, yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips). Jenis-jenis pohon yang umumnya diusahakan adalah Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. dengan siklus tebang sekitar 15 – 30 tahun tergantung pada tujuan penanaman.
C. Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu
Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain. Beternak lebah dan memanen madu di hutan mangrove dipandang sebagai salah satu manfaat mangrove yang tidak memberikan dampak negatif terhadap fungsi dasar mangrove serta terhadap bahan-bahan yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Kehadiaran lebah-lebah tersebut akan sangat menguntungkan bagai regenerasi mangrove terutama pada penyerbukan pohon-pohon mangrove yang tergantung pada serangga penyerbuk yang antara lain adalah lebah. Departemen Kehutanan (1997) menyatakan bahwa beberapa keuntungan dengan beternak lebah di hutan mangrove antara lain adalah:
· Menyediakan makanan yang bersifat tahan lama bagi penduduk
· Menghasilkan produk perdagangan dalam bentuk madu dan lilin
· Menyediakan lapangan kerja ketika petani/nelayan tidak sibuk dengan kegiatan bertani/menangkap ikan
· Menyediakan lapangan kerja bagi pengrajin setempat untuk membuat peralatan beternak lebah, dan
· Meningkatkan produksi tanaman lain melalui penyerbukan silang.
Dari segi sosial ekonomi, beternak lebah madu pada dasarnya merupakan begiatan berskala keluarga dan memiliki keununggulan dibandingkan tipe pertanian lainnya (Departemen Kehutanan, 1997) sebagai berikut:
· Memerlukan inventasi yang relatif kecil
· Memanfaatkan sedikit lahan dan kualitas lahan bukan merupakan faktor pembatas
· Dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dewasa
· Tidak bersaing dengan kegiatan pertanian lainnya dalam hal penggunaan lahan, dan
· Merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan pendapatan dari sumberdaya hutan tanpa merusak sumberdaya tersebut.
Gambar 1. Model-model tambak tumpangsari yang umum di Indonesia
D. Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan
Bentuk ini ditujukan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu dan kayu bakar/arang dari suatu kawasan mangrove. Salah satu contoh pengelolaan hutan mangrove oleh masyarakat yang menguntungkan dan berkelanjutan adalah di batu Ampar, Kalimantan Barat. Hasil penelitian magister Salmah tahun 2001 di hutan mangrove di daerah tersebut menunjukkan besarnya manfaat ekonomis dari ekosistem mangrove, dimana masyarakat lokal mendapatkan manfaat (pendapatan) yang cukup besar dari ekosistem mangrove dengan efisiensi usaha diatas 70 % tanpa merusak hutan, seperti disajikan pada Tabel 4.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove adalah penataan lahan, dimana seharusnya kawasan lindung berupa tegakan hutan mangrove, dimana yang boleh dilakukan kegiatan budidaya, seperti tambak sylvofishery, permukiman, wisata dan sebagainya. Pada Gambar 2 diberikan salah satu contoh penataan kawasan pantai dengan memperhatikan berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove.
Tabel 4. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove Batu Ampar Kalimantan Barat.
Jenis Manfaat
|
Nilai Manfaat (Rp/th)
|
Biaya (Rp/th)
|
%
|
Manfaat Bersih (Rp/th)
|
%
|
Potensi Kayu
|
60.688.525.900
|
18.206.553.600
|
30
|
42.481.972.300
|
70
|
Arang
|
1.367.871.200
|
512.729.300
|
37
|
855.141.900
|
63
|
Daun Nipah
|
98.205.184
|
16.874.352
|
17
|
81.330.832
|
83
|
Bibit Mangrove
|
100.677.700
|
21.072.400
|
21
|
79.695.300
|
79
|
Ikan
|
1.534.309.800
|
498.050.900
|
32
|
1.036.258.900
|
68
|
Udang
|
8.486.116.800
|
784.210.200
|
9
|
7.701.906.600
|
91
|
Kepiting
|
2.920.904.300
|
829.454.700
|
28
|
2.091.449.600
|
72
|
Jumlah
|
75.196.610.884
|
20.868.945.452
|
28
|
54.327.665.432
|
72
|
Sumber: Salmah (2001)
Gambar 2. Contoh penataan lahan mangrove untuk pemanfaatan secara lestari
Penutup
Hutan mangrove yang dikelola dengan baik telah memberikan dukungan bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir melalui fungsi fisik, biologi dan ekonomi sehingga bias dimanfaatkan secara lestari. Pada sisi lain, kerusakan hutan mangrove justru mengancam kehidupan masyarakat pesisir, seperti hilangnya ikan, udang, kepiting dan berbagai biota air lainnya, abrasi pantai, intrusi air laut dan berbagai dampak negative lainnya. Semoga kita menjadi bagian dari yang melakukan perbaikan dan terus berupaya menularkan kepada yang lain sehingga semakin bertambah banyak orang yang berperan dalam perbaikan ekosistem mangrove bagi kehidupan manusia. Semoga.
Read Full Post »