Pendahuluan
Perubahan iklim telah mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi sebagai dampak dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir (Alvarado & Wertz-Kanounnikoff, 2007). Emisi GRK akibat akumulasi aktivitas manusia telah berkontribusi nyata pada peningkatan pemanasan global (IPCC, 2007). Hasil penelitian terbaru NASA (Cole & McCarthy, 2012) menunjukkan bahwa suhu permukaan rata-rata global pada tahun 2011 merupakan yang terpanas kesembilan sejak tahun 1880. Data ini juga menunjukkan suhu rata-rata di seluruh dunia meningkat 0,51 oC dibandingkan data baseline pertengahan abad ke-20.
Konsentrasi GRK secara terus-menerus meningkat dalam tempo yang cepat. Konsentrasi gas CO2 di atmosfir pada tahun 1880 sekitar 285 ppm, kemudian konsentrasi rata-ratanya mencapai 315 ppm pada tahun 1960, dan saat ini melebihi 390 ppm (Cole & McCarthy, 2012). Boer (2004) menyatakan sekitar 270 (±30) giga ton karbon (Gt C) telah dilepas ke atmosfir selama periode 1850 – 1998. Deforestasi dan degradasi (menurunnya kualitas) hutan secara global menyumbang sekitar 20% (World Bank, 2007) sampai 25% (Santili et al., 2005; Myers, 2007) dari total emisi tahunan karbondioksida (CO2) dan menjadi salah satu faktor yang sangat nyata penyebab meningkatnya suhu global (global warming) sebagai salah satu bentuk dari perubahan iklim. Diperkirakan 96% dari emisi tersebut disumbang oleh deforestasi yang terjadi pada negera-negara berkembang di daerah tropis.
Hasil invetarisasi GRK Nasional menunjukkan bahwa pada tahun 2000 total emisi GRK Indonesia untuk tiga GRK utama (yaitu CO2, CH4 dan N2O) tanpa LULUCF (land use, land use change and forestry, yakni perubahan penggunaan lahan dan hutan serta kebakaran gambut) mencapai 594,738 Gg CO2e. Dengan memasukkan LULUCF, total emisi GRK Indonesia meningkat hampir tiga kali menjadi 1.415.988 Gg CO2e (SNC, 2010). Oleh karena itu, perubahan simpanan karbon dalam ekosistem daratan sebagai akibat penggunaan lahan oleh manusia telah menjadi perhatian masyarakat dunia dalam kaitannya dengan isu (permasalahan) perubahan iklim.
Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya karbon dari deforestasi (berkurang/hilangnya hutan) dan upaya konservasi hutan alam, saat ini, menjadi salah satu kunci pencegahan (mitigasi) perubahan iklim. Hasil analisis Stern (2006) dengan jelas menyatakan bahwa menghindari deforestasi akan memberikan biaya yang terendah di antara opsi-opsi mitigasi meningkatnya emisi CO2 dan juga memungkinkan meningkatkan gudang karbon. Pada saat yang sama, berbagai manfaat lainnya, seperti pengurangan kemiskinan, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), konservasi tanah dan air, dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat ditingkatkan.
Konversi hutan di Sumatera umumnya untuk memenuhi permintaan konsumen global telah menyebabkan deforestasi dan dampak ekologi dan sosial. Pertanian secara luas diyakini sebagai salah satu penyebab utama deforestasi. Di seluruh dunia, hutan dijadikan lahan untuk perkebunan kopi, rempah-rempahan, kelapa sawit dan berbagai jenis tanaman lainnya. Berdasarkan laporan Gaveau et al. (2009), Philpott et al. (2008) and WWF (2007) diketahui bahwa sebesar 21% hutan alam di Taman Nasional Bukit Barisan telah hilang dalam kurun waktu 1972 sampai 2006 (67.225 ha dari 310.670 ha). Aktivitas pengembangan pertanian menjadi penyumbang utama (80%) dari konversi hutan tersebut. Beberapa aktivitas kunci penyebab deforestasi dan degradasi hutan tersebut antara lain adalah lemahnya kebijakan dan praktek penggunaan lahan, tidak memadainya peraturan penundangan, kurangnya pengakuan hak milik, pertanian dan balak komersial, dan terbatasnya kapasitas dalam melindungi hutan.
Sejak kurun waktu yang lama, Sumatera bagian utara dan daerah disekitarnya dengan aktivitas agroforestrinya dikenal sebagai penghasil kopi, yang dikenal dengan Kopi Gayo dan Kopi Sidikalang. Perkebunan kopi arabika tersebut berdekatan dengan kawasan hutan yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi dan kandungan karbon yang tinggi pula, yakni Ekosistem Hutan Leuser dan Ekosistem Hutan Ulu Masen. Lalu, bagaimana posisi kebun kopi dalam kancah isu perubahan iklim, terutama kapasitasnya dalam menyimpan karbon dan peranannya dalam upaya mitigasi perubahan iklim?
Full presentation: Karbon kebun kopi dan mitigasi perubahan iklim
[Disampaikan pada Seminar Nasional “Dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kopi” pada 18 April 2012 di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara]