26 Desember 2015 ini tepat 11 tahun pasca tsunami Aceh. Tsunami besar yang dipicu oleh gempa dahsyat berkekuatan 9,3 skala richter (SR) di pantai barat Meulaboh itu tak hanya menerjang pesisir pantai Aceh dan Sumatera Utara, namun juga di 13 negara lainnya di Asia dan Afrika yang memiliki pantai di Samudra Hindia. Ketinggian gelobang tsunami yang dihasilkan juga dahsyat. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tinggi tsunami di pantai barat Aceh adalah 20 m dan ketinggian tsunami tertinggi tercatat di Leupung antara Bukit Ujung Riteung dan Bukit Labuhan, yakni 51 m di atas permukaan laut (Lavigne dkk., 2009). Halif dan Sabki (2005) melaporkan bahwa energi yang dilepaskan oleh tsunami tersebut setara dengan 80 ribu bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang.
Tercatat hampir 350 ribu nyawa melayang atau hilang di 14 negara yang terkena dampak tsunami 26 Desember 2004. Di Aceh sendiri, tercatat lebih dari 120 ribu nyawa melayang dan lebih dari 116 ribu orang hilang serta sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Berdasarkan publikasi oleh Athukorala dan Resosudarmo (2006) dinyatakan bahwa tsunami di akhir tahun 2004 itu tercatat sebagai bencana alam yang memakan korban terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. BAPPENAS dan Lembaga Donor Internasional (2005) melaporkan bahwa total kerusakan yang diakibatkan oleh kombinasi gempa dan tsunami tersebut mencapai US $ 4,45 milyar atau setara dengan 97% pendapatan domestik bruto Aceh, termasuk didalamnya adalah sebesar US $ 1 milyar kehilangan produktivitas. Kehilangan yang sangat besar.
Berselang 3 bulan kemudian, tepatnya 28 Maret 2005 gempa dengan kekuatan 8,7 SR berpusat di dasar lautan antara Kepulauan Banyak dan Pulau Nias. Gempa tersebut juga memicu tsunami meskipun hanya menerpa pantai barat Sumatera Bagian Utara. Kantor BRR NAD-Nias Perwakilan Nias (2008) melaporkan bahwa di Nias saja gempa dan tsunami pada akhir Maret 2005 tersebut menyebabkan 850 nyawa melayang, 11.579 orang terluka dan sekitar 70.000 kehilangan tempat tinggal.
Hasil penelitian sedimentasi oleh Monecke dan timnya yang dipublikasikan pada tahun 2008 melaporkan bahwa setidaknya telah terjadi 3 tsunami dahsyat yang sebelumnya menerjang pantai Aceh yang diperkirakan terjadi pada tahun 780-990, 1290-1400 dan 1907. Dengan demikian, tsunami besar dimasa mendatang kemungkinan besar akan terjadi kembali.
Tak hanya pantai Aceh dan Sumatera Utara, sejatinya pantai Indonesia rawan diterjang tsunami. Hal ini disebabkan wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng dunia yang selalu bergerak dan pergerakan itu pada suatu masa dapat menyebabkan gempa bumi yang kemudian memicu tsunami. Hamzah dkk. (2000) merangkum bahwa dalam kurun 1600 sd 1999 telah terjadi 105 tsunami yang menerjang pantai Indonesia atau hampir 4 tahun sekali terjadi 1 tsunami. Selanjutnya, Pribadi dan timnya (2013) melaporkan bahwa dalam kurun waktu 1991 sd 2012 sebanyak 27 tsunami yang dipicu oleh gempa bumi juga menerjang pantai Indonesia atau rata-rata setiap tahun terjadi tsunami. Dengan demikian, kejadian tsunami semakin sering menerpa pantai Indonesia pada periode terkini. Oleh karena itu, perlu persiapan dan kesiapan sejak sekarang untuk mengurangi dampak negatif dari tsunami yang akan terjadi dimasa mendatang.
Mangrove, pelindung dari tsunami
Kejadian dan dampak tsunami di penghujung tahun 2004 membuka mata dunia. Tidak saja oleh besarnya korban nyawa manusia, namun juga keajaiban dari hutan mangrove. Danielsen dkk beberapa saat setelah tsunami besar di penghujung tahun 2004 mempublikasi artikelnya pada salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi di dunia, Science, bahwa kerusakan yang disebabkan tsunami sangat kecil atau malah tidak ada pada kawasan pantai yang hutannya masih baik, sedangkan kerusakan berat terjadi pada pantai yang hutannya telah habis atau telah rusak sebelum tsunami tiba di pesisir India. Fakta-fakta serupa juga dilaporkan oleh Dahdouh-Guebas dan tim (2005) untuk pantai Sri Langka, Chang dkk (2006) untuk pantai Thailand dan Onrizal dkk (2009) pada pantai Nias. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Latief dan Hadi (2007) untuk kasus tsunami yang menerjang Pangandaran, Jawa Barat pada tahun 2006.
Dahdouh-Guebas pada tahun 2006 mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa 93% dari lebih dari 400 desa di pesisir Kepulauan Andaman yang terletak di sebelah utara Aceh selamat dari terjangan tsunami di akhir tahun 2004 karena terlindung oleh hutan mangrove yang relatif tidak terganggu. Hasil penelitian Kathiresan dan Rejendran (2005) menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara luasan hutan mangrove yang masih baik dengan korban manusia dan kerusakan infrastruktur akibat tsunami. Mereka menemukan bahwa semakin luas hutan mangrove, maka korban nyawa dan kerusakan infrastruktur akibat tsunami semakin kecil.
Namun demikian, hasil penelitian Cochard dkk (2008) melaporkan bahwa hutan mangrove yang rusak yang ditandai dengan tegakan yang tidak kompak dan terfragmentasi dapat memicu kerusakan yang lebih besar. Hal ini dimungkinkan karena tegakan mangrove yang jarang dan terfragmentasi tersebut tidak mampu menahan tsunami dan pohon yang patah atau tumbang kemudian terapung dibawa tsunami sehingga menambah daya rusak tsunami. Fragmentasi hutan juga menyebabkan pengumpulan tsunami pada celah antar tegakan hutan sehingga kekuatan perusak tsunami semakin besar pula. Hal ini terbukti dari penelitian lapang pasca tsunami 2004 di Aceh dan Thailand yang kemudian diikuti dengan permodelan komputer seperti dilaporkan oleh Yanagisawa dan tim.
Berdasarkan hasil penelitian penulis di hampir 3.000 km pantai Aceh dan Sumatera Utara dan berbagai hasil penelitian lainnya pasca tsunami 2004 dapat disimpulkan bahwa efektifitas hutan mangrove sebagai pelindung seperti diringkas berikut ini:
Kesatu, hutan mangrove yang terdiri dari banyak jenis pohon jauh lebih efektif dalam mengurangi dampak tsunami dibandingkan dengan hutan mangrove yang hanya terdiri dari sedikit atau satu jenis pohon saja. Kedua, hutan mangrove yang rapat jauh lebih efektif sebagai pelindung dari tsunami dibandingkan hutan mangrove yang jarang. Ketiga, pohon-pohon mangrove yang memiliki akar di atas tanah yang komplek (seperti akar tunjang pada pohon Rhizophora atau bakau) jauh lebih efektif dalam meredam tsunami daripada pohon mangrove yang tak memiliki akar di atas permukaan tanah (seperti pohon Excoecaria atau buta-buta). Keempat, hutan mangrove dengan struktur campuran baik jenis maupun umurnya jauh lebih efektif dari hutan mangrove yang hanya terdiri dari struktur sederhana. Kelima, hutan mangrove dengan lebar yang tebal jauh lebih efektif dalam meredam tsunami dibandingkan hutan mangrove dengan lebar yang tipis, dan keenam, hutan mangrove dengan tajuk yang berlapis jauh lebih efektif dalam meredam tsunami dibandingkan hutan mangrove dengan tajuk tunggal. Sehingga dalam bahasa sederhananya dapat dinyatakan bahwa hutan mangrove yang sehat dan tidak terganggu mampu meredam atau mengurangi dampak negatif tsunami.
Sayangnya, sebelum tsunami menerjang di penghujung tahun 2004, kerusakan hutan mangrove telah terjadi di berbagai daerah di Asia dan Afrika. Di pesisir Aceh, dalam kurun waktu 5 tahun saja dalam pesiode 1993-1998 kehilangan hutan mangrove mencapai 70,4%, yakni berkurang dari 102.970 ha (Ditjen INTAG, 1993) menjadi hanya 31.504 ha (Departemen Kehutanan, 1998). Dalam kurun waktu tersebut, rata-rata Aceh kehilangan mangrovenya seluas 14.293,2 ha per tahun. Faktor penyebab utamanya adalah konversi hutan mangrove menjadi tambak. Oleh karena itu, ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004, sebagian besar pantai Aceh tanpa sabuk pengaman alami yang bernama hutan mangrove.
Kepedulian Kita
Pasca tsunami 2004, perhatian terhadap hutan mangrove meningkat tajam. Hal ini terbukti dengan meningkatnya aktivitas rehabilitasi hutan mangrove di Aceh dengan dukungan masyarakat internasional dan dana dari APBN. Sampai akhir tahun 2006 saja, tercatat sekitar 30 juta bibit mangrove ditanam, namun sayang sebagian besar mati akibat berbagai faktor, seperti kesalahan jenis pohon yang ditanam, kesalahan penanganan di pembibitan di persemaian, kesalahan lokasi tanam, kurangnya pengetahuan dan pengalaman para pelaksana rehabilitasi, ketiadaan blue print rehabilitasi dan konflik kepentingan (Onrizal, 2006 dan Wibisono dan Suryadiputra, 2006). Setelah itu, berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, sehingga mampu meningkatkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi mangrove pada daerah terdampak tsunami di Aceh.
Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, berbagai tekanan terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi juga terjadi. Ancaman dan tekanan tersebut berupa penebangan hutan mangrove hasil rehabilitasi. Selanjutnya berupa reklamasi atau alih fungsi lahan mangrove hasil rehabilitasi menjadi permukiman. Hal ini mungkin terjadi karena (a) tahapan perencanaan rehabilitasi yang kurang matang, (b) tata ruang yang belum dipahami secara bersama dengan baik, (c) status kepemilikan lahan yang belum jelas, (d) kurangnya pemahaman akan pentingnya mangrove dalam melindungi kehidupan penduduk pesisir dari tsunami atau (e) kombinasi dari berbagai faktor tersebut.
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa sampai satu dasawarsa pasca tsunami, tingkat rehabilitasi mangrove Aceh baru mencapai 70% dari kondisi sebelum tsunami. Tentu masih sangat luas hutan mangrove yang harus direhabilitasi, apalagi misalnya untuk mencapai kondisi pada tahun 1993. Untuk itu tidak saja diperlukan perbaikan dalam perencanaan, namun juga dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi mangrove.
Memadukan faktor-faktor ekologi, ekonomi dan sosial menjadi suatu keniscayaan dalam setiap tahapan kegiatan rehabilitasi mangrove, tidak saja di Aceh, namun juga di seluruh wilayah republik ini. Hal ini penting dilakukan, agar berbagai tekanan dan ancaman terhadap hutan mangrove hasil rehabilitasi dapat diminimalisir sejak dini.
Penyadaran publik dan para pengambil kebijakan publik (politisi dan birokrasi) akan pentingnya keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu kunci pelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove terbukti sangat mendukung hasil perikanan pesisir pantai. Semakin baik hutan mangrove, semakin banyak dan beragam hasil tangkap perikanan pesisir pantai. Hamilton dan Snedaker (1984) melaporkan bahwa hampir 100% udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove. Walters dkk. (2008) menginformasikan bahwa 80% species biota laut yang komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove. Sebelumnya, Martosubroto dan Naamim (1977) melaporkan bahwa setiap kehilangan 1.000 ha hutan mangrove, maka hasil tangkap udang komersial akan berkurang sebesar 112,8 ton. Dengan demikian, hutan mangrove tidak saja penting dalam melindungi pesisir pantai dari tsunami, namun juga sangat penting dalam membangun dan menjaga ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, termasuk gizi anak bangsa.
Kepedulian kita dalam melestarikan hutan mangrove yang masih baik dan merehabilitasi yang telah rusak pada akhirnya akan bermanfaat bagi kehidupan kita, ummat manusia. Tidak saja untuk kita saat ini, namun juga untuk generasi yang akan datang. Mari peduli!
Oleh Onrizal
Terima kasih share-nya Pak …
tulisan yg enak dibaca.
Terima kasih Kang Eri. Semoga bermanfaat dan dengan demikian makin banyak yang peduli akan kelestarian hutan mangrove. Karena penerima manfaatn terbesarn pada akhirnya adalah kita, umat manusia.